Author : Kxanoppa
Title : Imagine Me And You
Genre : Romance
Tags :
-
Choi
Siwon
-
Cho
Kyuhyun
-
Jenny
Kim (OC)
-
Misun
(OC)
-
Yoori
(OC)
Rating : G
Length : One Shot
Author’s Note : I’m back with my new ff. Hope you guys like
it, and don’t forget to give me some feedback with comments please ^ ^ Happy
reading ! J (pernah
dipublish di http://superjuniorff2010.wordpress.com/2013/05/05/imagine-me-and-you/)
SCENE :
Sore itu terasa tidak begitu
bersahabat. Hujan turun dengan tiba-tiba disertai desir angin yang berhembus
kencang, membuat bulu kudukku sontak berdiri karena kedinginan. Sialnya lagi,
aku bahkan lupa membawa payung karena terburu-buru untuk berangkat bekerja pagi
ini. Apa boleh buat, aku terpaksa berteduh sementara di bawah atap sebuah
minimarket, yang mendadak tampak penuh oleh orang-orang yang juga menunggu
hujan reda. Aku berdiri di depan minimarket itu seperti anak hilang, dengan
penampilan yang bisa dibilang berantakan dan rambutku yang basah setelah sempat
terguyur hujan. Aku menghela napas berat meratapi kesialanku hari ini, sampai
akhirnya aku putuskan untuk masuk ke dalam saja dan membeli minuman yang bisa
menghangatkanku.
****
“Nona Kim!” seru seorang pria
dengan suara lantangnya, yang otomatis membangunkanku dari tidur singkatku, dan
bodohnya aku karena tertidur saat rapat sedang berlangsung.
“Ah, omo.. Dimana aku? Oh,
Direktur Choi, maafkan saya.. Apa saya tertidur? Maafkan saya!” Ucapku setelah
sebelumnya bergumam tak jelas seperti orang yang mendadak lupa ingatan. Sungguh
sebuah kebodohan, dan ini pertama kalinya aku melakukannya.
“Apa maksudmu, huh? Apa kau sudah
tidak betah bekerja di sini? Kau sudah tertidur sepanjang rapat ini. Kau
membuatku malu di hadapan para investor itu!” seru-nya lagi dengan penuh
kekesalan dan amarah yang terpancar dari pendar mata-nya.
Aku hanya menunduk malu dan
sangat menyesal. Tak henti-hentinya aku merutuk diriku sendiri atas kebodohan
akut yang baru saja kulakukan. “Maafkan saya.. Saya tidak tahu bagaimana saya
bisa jatuh tertidur..” balasku tanpa berani menatap ke arahnya yang masih
tampak sangat kecewa. Aku benar-benar tidak menyangka bisa tertidur selama
rapat berlangsung. Tapi anehnya, kenapa Direktur Choi tidak segera
membangunkanku begitu dirinya tahu aku telah tertidur dan membiarkan itu
terjadi hingga rapat selesai? Tentu ini menjadi tanda tanya besar. Tanpa
berlama-lama lagi, aku berniat untuk segera membereskan barang-barangku dan
meninggalkan ruangan sebelum emosinya kembali tersulut karena aku terus berada
di sini.
“Tunggu..” sahutnya di sela
langkah kaki-ku yang sudah hampir mencapai pintu meeting room itu.
“N-Ne?” balasku terbata, dan
membalikkan badanku dengan gentar.
“Apa kau baik-baik saja? Jika kau
sakit, kau bisa absen untuk beristirahat.. Sepertinya perusahaan sudah terlalu
membebanimu akhir-akhir ini..” ujarnya terdengar jauh lebih baik dari
sebelumnya. Ini sangat aneh. Bagaimana bisa ia tiba-tiba mencemaskan keadaanku,
setelah ia sempat membentakku beberapa menit yang lalu? Mendengar itu aku
sempat terpaku untuk beberapa saat, mencerna apa yang ia katakan. Perasaanku
berkecamuk tak menentu mengetahui bahwa seseorang yang selama ini kusukai
secara diam-diam itu, mengkhawatirkan keadaanku. Jujur saja, aku memang merasa
sangat tidak sehat saat ini. Aku pikir aku demam karena kehujanan kemarin sore.
Tapi akan sangat tidak etis jika aku mengeluhkan hal ini pada direkturku
sendiri.
“Tidak, Direktur.. Saya baik-baik
saja.. Maafkan saya karena sudah mencoreng nama baik perusahaan di hadapan para
investor. Saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang.. Kalau begitu saya
permisi..” balasku sopan dan sangat hati-hati sebelum akhirnya berlalu
meninggalkannya. Aku harap Direktur Choi bisa memaafkanku atas kejadian hari
ini. Aku tidak ingin dipecat, karena aku masih ingin bekerja di perusahaan itu,
dimana Direktur Choi yang menjadi atasanku. Ya, pria bernama Choi Siwon itu
sudah menjadi pria idamanku selama hampir 1,5 tahun aku bekerja. Pertemuan
pertama kami adalah di hari pertamaku bekerja di perusahaannya, saat ia secara
langsung memintaku untuk menjadi sekretarisnya. Hal itu bagaikan mimpi yang
menjadi kenyataan. Selama aku menjadi sekretarisnya, aku semakin mengenalnya.
Mungkin ia bukan pria romantic yang
bisa menyampaikan perasaannya secara terbuka. Ia sangat dingin dan terkadang
menunjukkan perhatiannya meskipun ia sendiri sulit untuk mengakui bahwa ia
peduli. Tapi aku tidak bisa menutup perasaanku yang sudah terlanjur jatuh hati
padanya. Ada keinginan untuk bisa terus bersamanya, mengikutinya meski hanya
bisa memandangnya dari belakang, dan juga memperhatikannya.
****
Keesokan harinya aku tetap masuk
bekerja meskipun dengan keadaan yang tidak begitu baik. Tapi setidaknya, aku
sudah memiliki istirahat yang cukup seusai meeting
kemarin –dan juga selama meeting
karena aku sempat tertidur. Aku berjalan menyusuri koridor perusahaan yang
begitu besar untuk menuju ke elevator. Menekan tombol nomor lantai yang akan
kutuju begitu aku sudah masuk didalamnya. Sebagai sekretaris, sebenarnya aku
tidak memiliki ruangan khusus, tetapi hanya meja kerja dengan luas gerak yang hanya
sebesar kubikel pegawai lainnya, yang terletak tidak jauh di depan ruangan
direktur.
Ting..
Pintu elevator terbuka begitu
sampai di lantai yang kutuju. Dengan cepat aku melangkahkan kaki-ku menuju meja
kerjaku dan segera meletakkan kopi hangat yang sudah kubeli sebelumnya ke meja
Direktur Choi, sebelum ia datang dan mencercaku lagi karena terlambat
membawakan kopi ini untuknya.
“Jenny.. Ada kiriman untukmu..”
panggil Misun, wanita yang juga menjabat sebagai sekretaris di perusahaan, yang
kemudian menghampiriku dan memberiku seikat bunga mawar putih.
“Apa ini? Siapa pengirimnya?”
tanyaku heran dan tak percaya dengan apa yang kudapatkan pagi itu.
“Entahlah.. Mungkin saja dari
penggemar rahasiamu..” Goda Misun yang sukses membuat wajahku bersemu merah. Jujur,
ini pertama kalinya aku mendapatkan kejutan semacam ini, meskipun usiaku kini
sudah menginjak 25 tahun. Usia yang tidak muda lagi bagiku untuk bermain-main
dalam urusan cinta.
“Kau ini.. Ya sudah kalau begitu.
Terimakasih, Misun ssi..” ujarku lalu kembali ke meja kerjaku. Aku
memperhatikan kiriman mawar itu dengan teliti, mencari jika ada surat
pengirimnya. Tidak sampai semenit aku sudah menemukannya. Ada kertas putih
tergulung di tengah-tengah ikatan bunga yang juga berwarna putih itu. Tanpa
pikir panjang aku langsung menariknya, lantas membacanya.
“Bagaimana
kabarmu? Jangan sakit dan semangatlah! ^ ^”
Hanya itu? Aku mebolak-balikkan
kertas itu tapi tidak menemukan sedikitpun identitas pengirimnya. Dan darimana
ia tahu aku sedang sakit? Aku berpikir sejenak, berusaha memecahkan teka-teki
dengan mimik serius seperti seorang detektif sungguhan. “Apakah mungkin ini…”
Aku bergumam sendiri, mencoba menemukan jawaban atas rasa penasaran yang ada
dengan pemikiran dan keyakinanku sendiri hingga tiba-tiba seseorang datang dan
mengejutkanku.
“Selamat pagi, Direktur Choi..”
sapa rekan sesama sekretaris-ku, Misun dan Yoori, begitu pria itu berjalan
menuju ke ruangannya. Aku yang masih sibuk dengan buket bunga-ku sontak
terkejut dan langsung meletakkannya di bawah meja kerjaku untuk bisa ikut
memberi salam. Direktur Choi tampak sudah masuk ke dalam ruangannya, sebelum
akhirnya ia kembali untuk memanggilku.
“Jenny Kim, ke ruanganku
sekarang..”
“Baik, Direktur..” balasku yang -mau
tak mau- harus menyanggupinya. Aku berdebar-debar setiap akan masuk ke
ruangannya. Aku tahu ini berlebihan. Tapi sebagai seorang secret admirer, aku tak bisa mengendalikan perasaan ini ketika
harus berhadapan dengan orang yang kusukai.
Aku menutup pintu pelan begitu
aku menginjakkan kaki-ku di atas lantai ruangannya yang luas. “Saya sudah di
sini, Direktur..” sapaku dari tempatku berdiri. Seperti biasa. Bisa kulihat
dirinya berdiri membelakangiku, menghadap jendela kaca yang terbentang luas,
menyajikan pemandangan indah perkotaan di pagi hari. Meski melihatnya dari
belakang, sudah cukup bagiku untuk bisa menyimpulkan betapa tampannya dia.
“Duduklah..” katanya tanpa
sedikitpun memalingkan wajahnya ke arahku dan masih asik dengan pemandangan
kota di balik jendela itu. Aku yang mendengar perintahnya, langsung menurut
begitu saja.
Tidak lama setelah aku duduk di
sofa empuk berwarna crème itu,
barulah ia memalingkan wajahnya dan berjalan mendekat untuk menghampiriku.
Setelah sampai di dekat sofa, ia memilih untuk tidak ikut duduk melainkan tetap
berdiri, dihadapanku, sambil melipat kedua tangannya di dada dan menatapku
intens membuatku semakin salah tingkah. “S-S-Sebenarnya a-a-ada apa, Direktur?”
tanyaku begitu ragu, takut kalau dia belum bisa memaafkanku atas kejadian
kemarin dan akan memecatku.
“Bagaimana keadaanmu? Kemarin kau
tampak begitu pucat. Apa kau sudah benar-benar sehat sekarang?”
Jantungku berdebar cepat, mata-ku
terbelalak saking terkejutnya, dan keringat dingin mulai membasahi diriku yang
sudah benar-benar gugup ini. Apakah ia tidak sedang bercanda? Benarkah ini?
Apakah pengirim mawar putih itu… Direktur Choi?
“Hei, Nona Kim..” Aku segera
menyadarkan diriku kembali dari lamunan singkatku begitu Direktur Choi
memanggilku untuk kesekian kalinya. Aku pikir aku sudah kesulitan untuk focus saat ini.
“Ah, maaf, Direktur.. Saya.. Saya
baik-baik saja.. Terimakasih atas perhatian Anda, Direktur..” jawabku spontan
karena tertangkap tengah melamun. Dia pasti mengira aku belum benar-benar pulih
karena aku terus bersikap bodoh dihadapannya.
“Tentu saja aku memperhatikanmu.
Kalau kau sampai sakit, aku yang akan kerepotan mengurusi segala skedulku
sendiri.. Baiklah kalau begitu.. Kau bisa kembali ke tempatmu.” Jawabnya
singkat, yang walaupun begitu masih berhasil membuatku di mabuk kepayang.
****
Beberapa hari berlalu dan hal
itu-pun terus berulang, atau lebih tepatnya, berlanjut? Ya, kiriman-kiriman itu
terus berdatangan ke meja kerjaku. Mulai dari bunga, coklat, obat, novel, pesan-pesan
manis untuk menyemangatiku, bahkan yang terkahir kuterima adalah sebuah gaun.
Aku rasa ini sudah berlebihan. Tentu secara pribadi ini sangat membuatku
senang. Tapi kalau terus-menerus dikirim ke kantor bagaimana tanggapan staf
yang lain? Ini bisa menimbulkan gossip
yang tidak enak, apalagi jika mereka semua tahu kalau pengirimnya adalah
direktur mereka sendiri. Bisa mati aku.
Karena tidak tahu pasti siapa
pengirimnya, aku terus berasumsi bahwa Direktur Choi-lah pelakunya. Karena
siapa lagi yang tahu aku sedang sakit waktu itu? Dan apa maksud perhatiannya
padaku akhir-akhir ini? Agak terkesan non-sense
memang. Dan jujur saja ini juga cukup rumit dan sulit untuk kupercaya pada
awalnya. Tapi dengan meyakini bahwa Direktur Choi-lah pelakunya, aku bisa
selalu bersemangat untuk pergi bekerja, terlebih untuk bertemu dengan pria itu.
“Sepertinya ada yang sedang
berbunga-bunga..” ujar Yoori yang kebetulan melintas di depan meja-ku dan
mendapatiku sedang memandangi kotak hadiah berisi gaun itu dengan tampang tak
percaya.
“Yoori-ssi.. Ini bukan seperti
itu..” tukasku yang segera meyingkirkan kotak itu dari atas mejaku.
“Apa kau masih belum berhasil
mencari tahu identitas pengirimnya?” tanya Misun yang juga ikut nimbrung
diantara kami, seakan tahu betul isi pikiranku saat itu.
“Itu.. Emm…” aku begitu bingung
menjawabnya. Mana mungkin aku mengatakan kalau Direktur Choi yang melakukannya?
Sebelum aku bisa meneruskan kalimatku, Direktur Choi datang dan membuatku
semakin kalang kabut.
“Selamat pagi, Direktur Choi..”
sapa Yoori dan Misun seperti biasa. Sedangkan aku hanya ikut membungkukkan
badan tanpa mengucapkan sepatah kata-pun dan menunduk karena malu.
“Nona Kim? Apakah ada sesuatu?”
tanya Direktur Choi yang membuatku semakin salah tingkah dan terpaksa
mengangkat wajahku ke arahnya. Hal ini tentu mengundang tanya bagi Yoori dan
Misun.
“T-T-Tidak, Direktur..” jawabku
yang lagi-lagi -dan selalu- terbata saat berhadapan dengannya.
“Kalau begitu ikut ke ruanganku
sekarang. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan..” perintahnya yang hanya bisa
kuikuti tanpa menolak. Aku-pun berjalan di belakangnya, ya, mengikutinya,
seperti biasa.
****
“Apa skedulku untuk hari ini?
Apakah ada acara penting?” tanya pria bertubuh tinggi dan penuh karisma itu
tanpa basa-basi.
“Ehm, untuk hari ini tidak ada
janji meeting apapun, Direktur. Hanya
mengecek lokasi pabrik baru yang akan segera dibangun..”
“Jam berapa itu?”
“10 tepat.”
“Baiklah..”
Selesai itu, keheningan sempat
menyerang diantara kami. Membuatku semakin kikuk saja. Hingga akhirnya aku
putuskan untuk menanyakan perihal kiriman-kiriman misterius yang selalu aku
dapatkan beberapa hari ini.
“Ah, hampir aku lupa..” sahut
Direktur Choi sebelum aku sempat membuka suaraku.
“Ada apa, Direktur?” responku
yang mau tidak mau harus mengalah dan mengurungkan niatku untuk menanyakan
masalah kiriman itu.
“Ada sesuatu yang ingin
kuserahkan padamu..” ucapnya sembari bangkit dari duduknya dan mendekat ke
arahku. Lagi-lagi sukses membuatku berdebar-debar tak karuan. Apakah kali ini
ia akan memberikan hadiah lainnya secara langsung? Tapi segala perkiraan dan
harapanku akan hal itu pupus seketika, begitu aku melihat sesuatu yang tampak
seperti sebuah undangan itu ia ulurkan padaku.
“Apa ini?” tanyaku spontan yang
benar-benar tidak sabar untuk mengetahuinya.
“Ini.. Undangan pernikahanku..
Karena kau sekretaris kepercayaanku dan sudah menjalankan tugas langsung
dariku, aku berpikir untuk menyerahkannya secara langsung saja padamu..”
paparnya dengan wajah berbinar. Hatiku bagai disayat sembilu mengetahui hal itu
dari mulutnya sendiri. Tanganku terasa berat untuk bisa menerima undangan itu.
Bahkan kelopak mataku rasanya sudah tidak kuat lagi menahan bendungan air
mataku. Tubuhku bergetar. Dadaku sesak, sakit sekali. Sungguh tak pernah
terpikirkan olehku bahwa Direktur Choi ternyata telah memiliki tambatan hati,
dan parahnya, itu bukan aku. Selama ini aku sudah salah sangka, dan mengarang
cerita semauku demi harapan palsu yang terus kupertahankan. Terdengar bunyi
gemuruh petir mulai menyambar dari luar, pertanda hujan akan turun sebentar
lagi. Dengan senyum yang dibuat-buat, aku menguatkan diri untuk menerima
undangan itu dan memberinya selamat.
“Terimakasih.. Dan selamat atas
pernikahanmu.. Direktur..”
****
Setelah mengetahui kabar
pernikahan dari pria yang selama ini kucintai, aku menjadi semakin terpuruk
saja. Aku begitu murung dan tidak bergairah seperti biasanya. Semua pesan-pesan
manis yang menyemangatiku, novel, gaun, dan segala kiriman misterius yang
tadinya kuyakini adalah kiriman dari seorang Choi Siwon kutumpuk begitu saja di
atas meja kerjaku karena sebentar lagi aku hendak membuangnya. Rasanya sangat
sakit dan sedih. Begitu putus asa. Setelah aku yakin bahwa semua sudah pergi,
barulah aku beranjak dari meja kerjaku sambil membawa segala benda bodoh itu
untuk bisa membuangnya dalam perjalananku pulang.
Karena berjalan dengan perasaan
yang kacau, aku berjalan terseok-seok seperti orang mabuk, sambil terus
menangis sepanjang perjalanan. Kenapa aku bisa begitu bodoh? Seharusnya aku
lebih tahu diri sejak awal, bahwa aku hanyalah seorang sekretarisnya dan tidak
lebih dari itu. Dia terlalu jauh untuk kugapai. Sekarang aku harus merasakan
sakit hati yang begitu parahnya. Aku menyesal. Mungkin mengundurkan diri dari
perusahaan akan lebih baik bagiku. Ya, aku akan menyerahkan surat pengunduran
diriku besok.
Karena tidak memperhatikan
langkahku dengan baik, aku tersandung dan menjatuhkan semua barang yang tadi
kubawa, membiarkan semuanya berserakan di atas aspal. Sambil tetap menangis dan
merutuk diriku sendiri, aku berniat untuk memungutnya kembali, hingga seseorang
datang dan membuatku tampak lebih bodoh lagi. “Kenapa kau selalu ceroboh?”
ucapnya lembut kemudian membantuku memungut segala barang tidak berguna itu.
Suaranya terdengar asing ditelingaku, tapi dari perkataannya seperti dia sudah
mengenalku. Aku mendongakkan wajahku untuk melihatnya. Aku begitu tertegun
mendapati pria yang kini berdiri sambil memungut barang-barangku itu. Aku belum
pernah melihatnya, tapi dia sangat tampan dan tampak baik. Melihatnya membuatku
lupa sejenak akan segala sakit yang kurasakan.
“Bangunlah. Tidak perlu sedih.
Mau kau apakan semua barang ini?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya untuk
membantuku berdiri, setelah semua barangku telah tertata rapi kembali.
“Aku ingin membuangnya..
Terimakasih sebelumnya.. Tapi aku buru-buru.” Jawabku dingin sambil mengusap
air mataku cepat dan berlalu meninggalkannya.
“Tampaknya hujan masih akan turun
lagi. Kau tidak lupa membawa payungmu lagi kan.. Nona Kim..?”
Mendengarnya menyebut nama
margaku dan membahas tentang payung membuatku terkejut dan harus menghentikan
langkahku. Ada sedikit perasaan ngeri dalam benakku karena bagaimana bisa orang
asing seperti dirinya mengetahui hal tentangku? Apakah dia seorang penguntit?
Aku memberanikan diriku untuk berbalik dan menghadapnya sekali lagi.
“Kau mengenalku?” tanyaku dengan
tatapan sinis yang kubuat, berharap ia akan mengaku.
“Lebih dari itu, Nona Kim. Maaf
jika ini membuatmu tidak nyaman. Kau bisa memanggilku Cho Kyuhyun.. Sore itu,
saat hujan turun.. Aku melihatmu berteduh di depan minimarket.. Sejak itulah
aku memutuskan untuk mengikutimu dan mencari segala informasi tentangmu..”
jelasnya dengan senyum sebagai penutupnya. Namun hal itu tidak membuatku
berubah pikiran –sedikitpun- untuk bisa percaya pada perkataannya. Justru
membuatku semakin merasa ngeri.
“Jangan buang semua barang itu..
Tidak bisakah kau menyimpannya? Pakailah gaun itu juga, karena aku membelinya
khusus untukmu..” lanjutnya lagi yang membuatku semakin tampak bodoh dengan
mulut menganga karena tak percaya. Pria yang mengaku bernama Cho Kyuhyun itu
kemudian mendekatiku dan berhenti tepat beberapa senti saja dariku.
“Beberapa hari ini aku tidak bisa
tidur dengan tenang hanya karena memikirkanmu.. Maukah kau menjadi sekretaris
hidupku, Nona Jenny Kim..?”
Mendengar itu membuatku salah
tingkah. Setengah mati aku berusaha tetap dingin di hadapannya tapi aku tidak
bisa. Aku gagal. Air mataku tumpah begitu saja dihadapannya. Entah air mata
haru, bahagia, atau sedih aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, hal itu
tampak memalukan sekaligus mengejutkan bagiku.
****
Beberapa bulan berlalu setelah “insiden”
itu. Bagaimanapun aku tidak mungkin bisa melupakannya, karena Kyuhyun dan aku
resmi menjadi sepasang kekasih malam itu. Aku tidak pernah mengira bahwa akan
mendapatkan kekasih sebaik dirinya. Bahkan menurutku, dia jauh lebih baik dari
Choi Siwon yang sudah “membutakanku” sebelumnya. Kejutan itu tidak pernah
berhenti dalam hidupku semenjak Kyuhyun menjadi pacarku. Kemarin malam, dia
mengajakku untuk makan malam bersama. Aku sengaja mengenakan gaun yang pernah
ia berikan untukku dan ketika aku hendak masuk ke dalam mobilnya, mobil itu
sudah penuh dengan mawar putih yang wanginya semerbak memenuhi indera
penciumanku. Tidak hanya itu, ia bahkan sempat keluar dari dalam mobilnya hanya
untuk menyerahkan sebuket bunga mawar merah yang sudah terikat cantik dengan
pita berwarna pink, sekotak coklat, dan tebak! Ia memberiku sebuah cincin
permata yang kilaunya berpendar dengan cahaya lampu, begitu menyilaukan mata.
Ya, ia melamarku. Sungguh aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Yang
jelas, aku benar-benar bersyukur Tuhan mempertemukanku dengannya. Bayangkan
saja, jika aku tenggelam dalam kesedihanku yang meratapi nasib karena tidak
bisa bersama Choi Siwon, aku pasti tidak akan bisa sebahagia ini sekarang. Dan
hal ini semakin menguatkan keyakinanku bahwa Kyuhyun adalah yang terbaik
untukku.
“I love you, Jenny..” bisik
Kyuhyun ditelingaku, yang mengejutkanku saat aku masih sibuk menulis buku
diary-ku.
Memang benar apa kata pepatah,
bahwa cinta tidak harus memiliki. Jika seseorang yang kau inginkan tidak
memilihmu, setidaknya ada orang lain yang jauh lebih baik menginginkanmu.
Cinta, bisa datang kapan saja. Dengan caranya yang berbeda pada setiap orang dan
tentunya dengan penuh kejutan ^ ^~
****END****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar