Kamis, 06 Juni 2013

Imagine Me And You





Author              : Kxanoppa
Title                  : Imagine Me And You
Genre                : Romance
Tags                  :
-          Choi Siwon
-          Cho Kyuhyun
-          Jenny Kim (OC)
-          Misun (OC)
-          Yoori (OC)
Rating               : G
Length              : One Shot
Author’s Note  : I’m back with my new ff. Hope you guys like it, and don’t forget to give me some feedback with comments please ^ ^ Happy reading ! J (pernah dipublish di http://superjuniorff2010.wordpress.com/2013/05/05/imagine-me-and-you/)

SCENE                        :
Sore itu terasa tidak begitu bersahabat. Hujan turun dengan tiba-tiba disertai desir angin yang berhembus kencang, membuat bulu kudukku sontak berdiri karena kedinginan. Sialnya lagi, aku bahkan lupa membawa payung karena terburu-buru untuk berangkat bekerja pagi ini. Apa boleh buat, aku terpaksa berteduh sementara di bawah atap sebuah minimarket, yang mendadak tampak penuh oleh orang-orang yang juga menunggu hujan reda. Aku berdiri di depan minimarket itu seperti anak hilang, dengan penampilan yang bisa dibilang berantakan dan rambutku yang basah setelah sempat terguyur hujan. Aku menghela napas berat meratapi kesialanku hari ini, sampai akhirnya aku putuskan untuk masuk ke dalam saja dan membeli minuman yang bisa menghangatkanku.
****
“Nona Kim!” seru seorang pria dengan suara lantangnya, yang otomatis membangunkanku dari tidur singkatku, dan bodohnya aku karena tertidur saat rapat sedang berlangsung.
“Ah, omo.. Dimana aku? Oh, Direktur Choi, maafkan saya.. Apa saya tertidur? Maafkan saya!” Ucapku setelah sebelumnya bergumam tak jelas seperti orang yang mendadak lupa ingatan. Sungguh sebuah kebodohan, dan ini pertama kalinya aku melakukannya.
“Apa maksudmu, huh? Apa kau sudah tidak betah bekerja di sini? Kau sudah tertidur sepanjang rapat ini. Kau membuatku malu di hadapan para investor itu!” seru-nya lagi dengan penuh kekesalan dan amarah yang terpancar dari pendar mata-nya.
Aku hanya menunduk malu dan sangat menyesal. Tak henti-hentinya aku merutuk diriku sendiri atas kebodohan akut yang baru saja kulakukan. “Maafkan saya.. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa jatuh tertidur..” balasku tanpa berani menatap ke arahnya yang masih tampak sangat kecewa. Aku benar-benar tidak menyangka bisa tertidur selama rapat berlangsung. Tapi anehnya, kenapa Direktur Choi tidak segera membangunkanku begitu dirinya tahu aku telah tertidur dan membiarkan itu terjadi hingga rapat selesai? Tentu ini menjadi tanda tanya besar. Tanpa berlama-lama lagi, aku berniat untuk segera membereskan barang-barangku dan meninggalkan ruangan sebelum emosinya kembali tersulut karena aku terus berada di sini.
“Tunggu..” sahutnya di sela langkah kaki-ku yang sudah hampir mencapai pintu meeting room itu.
“N-Ne?” balasku terbata, dan membalikkan badanku dengan gentar.
“Apa kau baik-baik saja? Jika kau sakit, kau bisa absen untuk beristirahat.. Sepertinya perusahaan sudah terlalu membebanimu akhir-akhir ini..” ujarnya terdengar jauh lebih baik dari sebelumnya. Ini sangat aneh. Bagaimana bisa ia tiba-tiba mencemaskan keadaanku, setelah ia sempat membentakku beberapa menit yang lalu? Mendengar itu aku sempat terpaku untuk beberapa saat, mencerna apa yang ia katakan. Perasaanku berkecamuk tak menentu mengetahui bahwa seseorang yang selama ini kusukai secara diam-diam itu, mengkhawatirkan keadaanku. Jujur saja, aku memang merasa sangat tidak sehat saat ini. Aku pikir aku demam karena kehujanan kemarin sore. Tapi akan sangat tidak etis jika aku mengeluhkan hal ini pada direkturku sendiri.
“Tidak, Direktur.. Saya baik-baik saja.. Maafkan saya karena sudah mencoreng nama baik perusahaan di hadapan para investor. Saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang.. Kalau begitu saya permisi..” balasku sopan dan sangat hati-hati sebelum akhirnya berlalu meninggalkannya. Aku harap Direktur Choi bisa memaafkanku atas kejadian hari ini. Aku tidak ingin dipecat, karena aku masih ingin bekerja di perusahaan itu, dimana Direktur Choi yang menjadi atasanku. Ya, pria bernama Choi Siwon itu sudah menjadi pria idamanku selama hampir 1,5 tahun aku bekerja. Pertemuan pertama kami adalah di hari pertamaku bekerja di perusahaannya, saat ia secara langsung memintaku untuk menjadi sekretarisnya. Hal itu bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Selama aku menjadi sekretarisnya, aku semakin mengenalnya. Mungkin ia bukan pria romantic yang bisa menyampaikan perasaannya secara terbuka. Ia sangat dingin dan terkadang menunjukkan perhatiannya meskipun ia sendiri sulit untuk mengakui bahwa ia peduli. Tapi aku tidak bisa menutup perasaanku yang sudah terlanjur jatuh hati padanya. Ada keinginan untuk bisa terus bersamanya, mengikutinya meski hanya bisa memandangnya dari belakang, dan juga memperhatikannya.
****
Keesokan harinya aku tetap masuk bekerja meskipun dengan keadaan yang tidak begitu baik. Tapi setidaknya, aku sudah memiliki istirahat yang cukup seusai meeting kemarin –dan juga selama meeting karena aku sempat tertidur. Aku berjalan menyusuri koridor perusahaan yang begitu besar untuk menuju ke elevator. Menekan tombol nomor lantai yang akan kutuju begitu aku sudah masuk didalamnya. Sebagai sekretaris, sebenarnya aku tidak memiliki ruangan khusus, tetapi hanya meja kerja dengan luas gerak yang hanya sebesar kubikel pegawai lainnya, yang terletak tidak jauh di depan ruangan direktur.
Ting..
Pintu elevator terbuka begitu sampai di lantai yang kutuju. Dengan cepat aku melangkahkan kaki-ku menuju meja kerjaku dan segera meletakkan kopi hangat yang sudah kubeli sebelumnya ke meja Direktur Choi, sebelum ia datang dan mencercaku lagi karena terlambat membawakan kopi ini untuknya.
“Jenny.. Ada kiriman untukmu..” panggil Misun, wanita yang juga menjabat sebagai sekretaris di perusahaan, yang kemudian menghampiriku dan memberiku seikat bunga mawar putih.
“Apa ini? Siapa pengirimnya?” tanyaku heran dan tak percaya dengan apa yang kudapatkan pagi itu.
“Entahlah.. Mungkin saja dari penggemar rahasiamu..” Goda Misun yang sukses membuat wajahku bersemu merah. Jujur, ini pertama kalinya aku mendapatkan kejutan semacam ini, meskipun usiaku kini sudah menginjak 25 tahun. Usia yang tidak muda lagi bagiku untuk bermain-main dalam urusan cinta.
“Kau ini.. Ya sudah kalau begitu. Terimakasih, Misun ssi..” ujarku lalu kembali ke meja kerjaku. Aku memperhatikan kiriman mawar itu dengan teliti, mencari jika ada surat pengirimnya. Tidak sampai semenit aku sudah menemukannya. Ada kertas putih tergulung di tengah-tengah ikatan bunga yang juga berwarna putih itu. Tanpa pikir panjang aku langsung menariknya, lantas membacanya.
“Bagaimana kabarmu? Jangan sakit dan semangatlah! ^ ^”
Hanya itu? Aku mebolak-balikkan kertas itu tapi tidak menemukan sedikitpun identitas pengirimnya. Dan darimana ia tahu aku sedang sakit? Aku berpikir sejenak, berusaha memecahkan teka-teki dengan mimik serius seperti seorang detektif sungguhan. “Apakah mungkin ini…” Aku bergumam sendiri, mencoba menemukan jawaban atas rasa penasaran yang ada dengan pemikiran dan keyakinanku sendiri hingga tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkanku.
“Selamat pagi, Direktur Choi..” sapa rekan sesama sekretaris-ku, Misun dan Yoori, begitu pria itu berjalan menuju ke ruangannya. Aku yang masih sibuk dengan buket bunga-ku sontak terkejut dan langsung meletakkannya di bawah meja kerjaku untuk bisa ikut memberi salam. Direktur Choi tampak sudah masuk ke dalam ruangannya, sebelum akhirnya ia kembali untuk memanggilku.
“Jenny Kim, ke ruanganku sekarang..”
“Baik, Direktur..” balasku yang -mau tak mau- harus menyanggupinya. Aku berdebar-debar setiap akan masuk ke ruangannya. Aku tahu ini berlebihan. Tapi sebagai seorang secret admirer, aku tak bisa mengendalikan perasaan ini ketika harus berhadapan dengan orang yang kusukai.
Aku menutup pintu pelan begitu aku menginjakkan kaki-ku di atas lantai ruangannya yang luas. “Saya sudah di sini, Direktur..” sapaku dari tempatku berdiri. Seperti biasa. Bisa kulihat dirinya berdiri membelakangiku, menghadap jendela kaca yang terbentang luas, menyajikan pemandangan indah perkotaan di pagi hari. Meski melihatnya dari belakang, sudah cukup bagiku untuk bisa menyimpulkan betapa tampannya dia.
“Duduklah..” katanya tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya ke arahku dan masih asik dengan pemandangan kota di balik jendela itu. Aku yang mendengar perintahnya, langsung menurut begitu saja.
Tidak lama setelah aku duduk di sofa empuk berwarna crème itu, barulah ia memalingkan wajahnya dan berjalan mendekat untuk menghampiriku. Setelah sampai di dekat sofa, ia memilih untuk tidak ikut duduk melainkan tetap berdiri, dihadapanku, sambil melipat kedua tangannya di dada dan menatapku intens membuatku semakin salah tingkah. “S-S-Sebenarnya a-a-ada apa, Direktur?” tanyaku begitu ragu, takut kalau dia belum bisa memaafkanku atas kejadian kemarin dan akan memecatku.
“Bagaimana keadaanmu? Kemarin kau tampak begitu pucat. Apa kau sudah benar-benar sehat sekarang?”
Jantungku berdebar cepat, mata-ku terbelalak saking terkejutnya, dan keringat dingin mulai membasahi diriku yang sudah benar-benar gugup ini. Apakah ia tidak sedang bercanda? Benarkah ini? Apakah pengirim mawar putih itu… Direktur Choi?
“Hei, Nona Kim..” Aku segera menyadarkan diriku kembali dari lamunan singkatku begitu Direktur Choi memanggilku untuk kesekian kalinya. Aku pikir aku sudah kesulitan untuk focus saat ini.
“Ah, maaf, Direktur.. Saya.. Saya baik-baik saja.. Terimakasih atas perhatian Anda, Direktur..” jawabku spontan karena tertangkap tengah melamun. Dia pasti mengira aku belum benar-benar pulih karena aku terus bersikap bodoh dihadapannya.
“Tentu saja aku memperhatikanmu. Kalau kau sampai sakit, aku yang akan kerepotan mengurusi segala skedulku sendiri.. Baiklah kalau begitu.. Kau bisa kembali ke tempatmu.” Jawabnya singkat, yang walaupun begitu masih berhasil membuatku di mabuk kepayang.
****
Beberapa hari berlalu dan hal itu-pun terus berulang, atau lebih tepatnya, berlanjut? Ya, kiriman-kiriman itu terus berdatangan ke meja kerjaku. Mulai dari bunga, coklat, obat, novel, pesan-pesan manis untuk menyemangatiku, bahkan yang terkahir kuterima adalah sebuah gaun. Aku rasa ini sudah berlebihan. Tentu secara pribadi ini sangat membuatku senang. Tapi kalau terus-menerus dikirim ke kantor bagaimana tanggapan staf yang lain? Ini bisa menimbulkan gossip yang tidak enak, apalagi jika mereka semua tahu kalau pengirimnya adalah direktur mereka sendiri. Bisa mati aku.
Karena tidak tahu pasti siapa pengirimnya, aku terus berasumsi bahwa Direktur Choi-lah pelakunya. Karena siapa lagi yang tahu aku sedang sakit waktu itu? Dan apa maksud perhatiannya padaku akhir-akhir ini? Agak terkesan non-sense memang. Dan jujur saja ini juga cukup rumit dan sulit untuk kupercaya pada awalnya. Tapi dengan meyakini bahwa Direktur Choi-lah pelakunya, aku bisa selalu bersemangat untuk pergi bekerja, terlebih untuk bertemu dengan pria itu.
“Sepertinya ada yang sedang berbunga-bunga..” ujar Yoori yang kebetulan melintas di depan meja-ku dan mendapatiku sedang memandangi kotak hadiah berisi gaun itu dengan tampang tak percaya.
“Yoori-ssi.. Ini bukan seperti itu..” tukasku yang segera meyingkirkan kotak itu dari atas mejaku.
“Apa kau masih belum berhasil mencari tahu identitas pengirimnya?” tanya Misun yang juga ikut nimbrung diantara kami, seakan tahu betul isi pikiranku saat itu.
“Itu.. Emm…” aku begitu bingung menjawabnya. Mana mungkin aku mengatakan kalau Direktur Choi yang melakukannya? Sebelum aku bisa meneruskan kalimatku, Direktur Choi datang dan membuatku semakin kalang kabut.
“Selamat pagi, Direktur Choi..” sapa Yoori dan Misun seperti biasa. Sedangkan aku hanya ikut membungkukkan badan tanpa mengucapkan sepatah kata-pun dan menunduk karena malu.
“Nona Kim? Apakah ada sesuatu?” tanya Direktur Choi yang membuatku semakin salah tingkah dan terpaksa mengangkat wajahku ke arahnya. Hal ini tentu mengundang tanya bagi Yoori dan Misun.
“T-T-Tidak, Direktur..” jawabku yang lagi-lagi -dan selalu- terbata saat berhadapan dengannya.
“Kalau begitu ikut ke ruanganku sekarang. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan..” perintahnya yang hanya bisa kuikuti tanpa menolak. Aku-pun berjalan di belakangnya, ya, mengikutinya, seperti biasa.
****
“Apa skedulku untuk hari ini? Apakah ada acara penting?” tanya pria bertubuh tinggi dan penuh karisma itu tanpa basa-basi.
“Ehm, untuk hari ini tidak ada janji meeting apapun, Direktur. Hanya mengecek lokasi pabrik baru yang akan segera dibangun..”
“Jam berapa itu?”
“10 tepat.”
“Baiklah..”
Selesai itu, keheningan sempat menyerang diantara kami. Membuatku semakin kikuk saja. Hingga akhirnya aku putuskan untuk menanyakan perihal kiriman-kiriman misterius yang selalu aku dapatkan beberapa hari ini.
“Ah, hampir aku lupa..” sahut Direktur Choi sebelum aku sempat membuka suaraku.
“Ada apa, Direktur?” responku yang mau tidak mau harus mengalah dan mengurungkan niatku untuk menanyakan masalah kiriman itu.
“Ada sesuatu yang ingin kuserahkan padamu..” ucapnya sembari bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. Lagi-lagi sukses membuatku berdebar-debar tak karuan. Apakah kali ini ia akan memberikan hadiah lainnya secara langsung? Tapi segala perkiraan dan harapanku akan hal itu pupus seketika, begitu aku melihat sesuatu yang tampak seperti sebuah undangan itu ia ulurkan padaku.
“Apa ini?” tanyaku spontan yang benar-benar tidak sabar untuk mengetahuinya.
“Ini.. Undangan pernikahanku.. Karena kau sekretaris kepercayaanku dan sudah menjalankan tugas langsung dariku, aku berpikir untuk menyerahkannya secara langsung saja padamu..” paparnya dengan wajah berbinar. Hatiku bagai disayat sembilu mengetahui hal itu dari mulutnya sendiri. Tanganku terasa berat untuk bisa menerima undangan itu. Bahkan kelopak mataku rasanya sudah tidak kuat lagi menahan bendungan air mataku. Tubuhku bergetar. Dadaku sesak, sakit sekali. Sungguh tak pernah terpikirkan olehku bahwa Direktur Choi ternyata telah memiliki tambatan hati, dan parahnya, itu bukan aku. Selama ini aku sudah salah sangka, dan mengarang cerita semauku demi harapan palsu yang terus kupertahankan. Terdengar bunyi gemuruh petir mulai menyambar dari luar, pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Dengan senyum yang dibuat-buat, aku menguatkan diri untuk menerima undangan itu dan memberinya selamat.
“Terimakasih.. Dan selamat atas pernikahanmu.. Direktur..”
****
Setelah mengetahui kabar pernikahan dari pria yang selama ini kucintai, aku menjadi semakin terpuruk saja. Aku begitu murung dan tidak bergairah seperti biasanya. Semua pesan-pesan manis yang menyemangatiku, novel, gaun, dan segala kiriman misterius yang tadinya kuyakini adalah kiriman dari seorang Choi Siwon kutumpuk begitu saja di atas meja kerjaku karena sebentar lagi aku hendak membuangnya. Rasanya sangat sakit dan sedih. Begitu putus asa. Setelah aku yakin bahwa semua sudah pergi, barulah aku beranjak dari meja kerjaku sambil membawa segala benda bodoh itu untuk bisa membuangnya dalam perjalananku pulang.
Karena berjalan dengan perasaan yang kacau, aku berjalan terseok-seok seperti orang mabuk, sambil terus menangis sepanjang perjalanan. Kenapa aku bisa begitu bodoh? Seharusnya aku lebih tahu diri sejak awal, bahwa aku hanyalah seorang sekretarisnya dan tidak lebih dari itu. Dia terlalu jauh untuk kugapai. Sekarang aku harus merasakan sakit hati yang begitu parahnya. Aku menyesal. Mungkin mengundurkan diri dari perusahaan akan lebih baik bagiku. Ya, aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku besok.
Karena tidak memperhatikan langkahku dengan baik, aku tersandung dan menjatuhkan semua barang yang tadi kubawa, membiarkan semuanya berserakan di atas aspal. Sambil tetap menangis dan merutuk diriku sendiri, aku berniat untuk memungutnya kembali, hingga seseorang datang dan membuatku tampak lebih bodoh lagi. “Kenapa kau selalu ceroboh?” ucapnya lembut kemudian membantuku memungut segala barang tidak berguna itu. Suaranya terdengar asing ditelingaku, tapi dari perkataannya seperti dia sudah mengenalku. Aku mendongakkan wajahku untuk melihatnya. Aku begitu tertegun mendapati pria yang kini berdiri sambil memungut barang-barangku itu. Aku belum pernah melihatnya, tapi dia sangat tampan dan tampak baik. Melihatnya membuatku lupa sejenak akan segala sakit yang kurasakan.
“Bangunlah. Tidak perlu sedih. Mau kau apakan semua barang ini?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, setelah semua barangku telah tertata rapi kembali.
“Aku ingin membuangnya.. Terimakasih sebelumnya.. Tapi aku buru-buru.” Jawabku dingin sambil mengusap air mataku cepat dan berlalu meninggalkannya.
“Tampaknya hujan masih akan turun lagi. Kau tidak lupa membawa payungmu lagi kan.. Nona Kim..?”
Mendengarnya menyebut nama margaku dan membahas tentang payung membuatku terkejut dan harus menghentikan langkahku. Ada sedikit perasaan ngeri dalam benakku karena bagaimana bisa orang asing seperti dirinya mengetahui hal tentangku? Apakah dia seorang penguntit? Aku memberanikan diriku untuk berbalik dan menghadapnya sekali lagi.
“Kau mengenalku?” tanyaku dengan tatapan sinis yang kubuat, berharap ia akan mengaku.
“Lebih dari itu, Nona Kim. Maaf jika ini membuatmu tidak nyaman. Kau bisa memanggilku Cho Kyuhyun.. Sore itu, saat hujan turun.. Aku melihatmu berteduh di depan minimarket.. Sejak itulah aku memutuskan untuk mengikutimu dan mencari segala informasi tentangmu..” jelasnya dengan senyum sebagai penutupnya. Namun hal itu tidak membuatku berubah pikiran –sedikitpun- untuk bisa percaya pada perkataannya. Justru membuatku semakin merasa ngeri.
“Jangan buang semua barang itu.. Tidak bisakah kau menyimpannya? Pakailah gaun itu juga, karena aku membelinya khusus untukmu..” lanjutnya lagi yang membuatku semakin tampak bodoh dengan mulut menganga karena tak percaya. Pria yang mengaku bernama Cho Kyuhyun itu kemudian mendekatiku dan berhenti tepat beberapa senti saja dariku.
“Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur dengan tenang hanya karena memikirkanmu.. Maukah kau menjadi sekretaris hidupku, Nona Jenny Kim..?”
Mendengar itu membuatku salah tingkah. Setengah mati aku berusaha tetap dingin di hadapannya tapi aku tidak bisa. Aku gagal. Air mataku tumpah begitu saja dihadapannya. Entah air mata haru, bahagia, atau sedih aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, hal itu tampak memalukan sekaligus mengejutkan bagiku.
****
Beberapa bulan berlalu setelah “insiden” itu. Bagaimanapun aku tidak mungkin bisa melupakannya, karena Kyuhyun dan aku resmi menjadi sepasang kekasih malam itu. Aku tidak pernah mengira bahwa akan mendapatkan kekasih sebaik dirinya. Bahkan menurutku, dia jauh lebih baik dari Choi Siwon yang sudah “membutakanku” sebelumnya. Kejutan itu tidak pernah berhenti dalam hidupku semenjak Kyuhyun menjadi pacarku. Kemarin malam, dia mengajakku untuk makan malam bersama. Aku sengaja mengenakan gaun yang pernah ia berikan untukku dan ketika aku hendak masuk ke dalam mobilnya, mobil itu sudah penuh dengan mawar putih yang wanginya semerbak memenuhi indera penciumanku. Tidak hanya itu, ia bahkan sempat keluar dari dalam mobilnya hanya untuk menyerahkan sebuket bunga mawar merah yang sudah terikat cantik dengan pita berwarna pink, sekotak coklat, dan tebak! Ia memberiku sebuah cincin permata yang kilaunya berpendar dengan cahaya lampu, begitu menyilaukan mata. Ya, ia melamarku. Sungguh aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Yang jelas, aku benar-benar bersyukur Tuhan mempertemukanku dengannya. Bayangkan saja, jika aku tenggelam dalam kesedihanku yang meratapi nasib karena tidak bisa bersama Choi Siwon, aku pasti tidak akan bisa sebahagia ini sekarang. Dan hal ini semakin menguatkan keyakinanku bahwa Kyuhyun adalah yang terbaik untukku.
“I love you, Jenny..” bisik Kyuhyun ditelingaku, yang mengejutkanku saat aku masih sibuk menulis buku diary-ku.
Memang benar apa kata pepatah, bahwa cinta tidak harus memiliki. Jika seseorang yang kau inginkan tidak memilihmu, setidaknya ada orang lain yang jauh lebih baik menginginkanmu. Cinta, bisa datang kapan saja. Dengan caranya yang berbeda pada setiap orang dan tentunya dengan penuh kejutan ^ ^~

****END****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar