“MY LITTLE BROTHER”
(내 동생)
author : kxanoppa | genre : bro-mance, tragedy, angst | casts : luhan (exo-m) & sehun
(exo-k) | rating : pg-13 |
length : one-shot |notes :
terinspirasi dari salah satu headline news di cina belakangan ini. Semua yang
aku tulis disini hanya untuk bahan bacaan, selain hiburan juga mengandung nilai
pastinya. Tolong jangan disalah-artikan dan juga perhatikan ratingnya sebelum membaca ya. Apa yang
positif diambil, tapi yang negatif jangan ditiru atau dibawa serius. Semoga ini
bisa bermanfaat. Maaf kalo ada typo dsb. Warning
utk di part-part terakhir, karena alurnya bakal maju-mundur jadi jangan bingung
ya. Mohon saran/kritik/pendapat kalian ya. Selamat membaca!
Inspirasi lagu : Shattered – Trading Yesterday.
Disarankan untuk mendengar lagu ini saat membaca ^^
Summary : Sehun
tidak sepintar Luhan, bukan berarti ia bodoh. Sehun tidak sebaik Luhan, bukan
berarti ia jahat/buruk. Sehun tidak suka Luhan, bukan berarti ia membenci
Luhan. Sehun hanya butuh kesempatan, untuk bisa lebih menunjukkan siapa
dirinya. Apakah ia akan mendapatkan kesempatan itu?
**
PROLOGUE
Seorang pemuda tampan dengan
kulit putih pucat terlihat sedang duduk serius di meja belajarnya. Sesuatu yang
besar jelas telah terjadi padanya. Di tengah kegundahan hatinya, ia mulai
mengeluarkan secarik kertas dengan alat tulis yang siap dalam genggamannya.
Sambil terisak pedih, Sehun, pemuda itu, mulai menuangkan segala pikiran dan perasaannya
di atas secarik kertas putih. Mungkin Sehun telah melakukan kesalahan besar,
tapi ia tetap harus menentukan keputusan...
**
Sehun dan Luhan adalah 2
bersaudara. Sehun adik dan tentu saja Luhan adalah kakak. Mereka hidup di
tengah-tengah keluarga yang bisa dibilang cukup harmonis. Seharusnya memang
begitu. Namun tidak bagi Sehun. Orangtua mereka selalu membanding-bandingkan
dirinya dengan Luhan. Apapun yang Luhan lakukan pasti baik di mata orangtua
mereka. Singkat kata, Luhan lebih segala-galanya dibandingkan Sehun. Sehun
sedih. Sehun kecewa. Sejak kecil Sehun memang orang yang tertutup. Ia kesulitan
dalam menyatakan apa yang ia pikirkan atau rasakan, hingga banyak orang
menilainya dingin dan sombong. Berbeda dengan Luhan yang ramah dan murah senyum.
Ya, Luhan memang yang terbaik.
Malam itu keluarga mereka
mengadakan pesta kecil-kecilan di sela makan malam. Luhan baru saja lulus dari
kuliahnya di jurusan arsitektur. Sehun memilih untuk segera masuk ke dalam
kamarnya dan menyiapkan buku-bukunya untuk mulai mengerjakan PR, setelah ia
selesai dengan makan malamnya. Bukan berarti Sehun tidak senang Luhan lulus. Ia
hanya bosan karena Luhan terus menjadi tokoh utama bahkan ketika ia ada di
tengah-tengah mereka. Sehun merasa seperti invisible
man.
Di tengah kesibukannya memilih
buku-buku, Sehun bisa mendengar percakapan antara orangtuanya dan Luhan di
ruang tengah.
“Gamsahamnida, abeoji,” balas
Luhan.
“Ne, apapun yang kau lakukan, kau
pasti bisa berhasil dengan baik. Bukankah begitu, yeobeo?” sahut ibu mereka tak
kalah senang.
“Ne, geureom!” balas sang ayah. “Ah,
bahkan beberapa perusahaan sudah berusaha untuk merekrutmu ‘kan? Apa kau sudah
memutuskan perusahaan mana yang akan kau pilih, Lu?” lanjut ayahnya.
“Ehm, untuk masalah itu aku belum
benar-benar menentukan. Tapi aku akan segera memutuskannya. Eomma dan abeoji
tak perlu khawatir,” jawab Luhan bijak. Setelah itu merekapun tertawa bersama.
Di dalam kamarnya, Sehun hanya
bisa mendengarkan dengan hati yang pedih karena tak mendapat pengakuan apapun.
Apakah mungkin keluarganya sendiri tega melupakannya? Sehun berniat melanjutkan
aktivitasnya sebelum akhirnya ia menemukan secarik kertas ujian dari antara bukunya.
Ia menarik kertas itu dan memandanginya dengan tatapan yang begitu datar. Ia
kemudian meremat kertas ujian itu hingga tak berbentuk dan melemparnya ke
tempat sampah. Bagi Sehun, nilai 100 sama sekali tidak ada artinya. Kecuali
orangtuanya benar-benar akan mengakuinya.
**
Sehun menjalani hari-harinya
dengan kekecewaan yang dalam. Ia tak pernah mengungkapkannya pada siapapun,
karena toh siapa yang peduli? Tapi di balik kekecewaannya itu, ia juga tak
memungkiri bahwa ia sangat bangga memiliki kakak seperti Luhan. Luhan adalah
kakak yang baik dan terlampau baik. Sehun masih ingat dengan jelas ketika kecil
dulu Luhan yang setiap hari mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Luhan begitu
sabar dan penyayang. Namun tak jarang kebaikan Luhan ia salahartikan karena ia
tidak suka selalu diperlakukan seperti anak kecil. Sehun sudah dewasa, tapi bagi
Luhan ia tak lebih dari seorang adik kecil.
Di sekolahnya, ada seorang gadis
yang Sehun sukai. Sehun sudah lama memendam perasaan itu. Gadis itu bahkan
pernah kerumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Sehun berusaha keras untuk
mengabaikan sifat tertutupnya demi menyatakan perasaan pada gadis itu. Hingga
akhirnya saat itu tiba, Sehun justru mendapatkan kejutan lainnya.
“Maaf,” ucap seorang gadis
dihadapan Sehun. Ditangannya, terulur sepucuk surat. Itu adalah surat dari
Sehun yang sengaja ia selipkan di tas gadis itu. Surat pernyataan cintanya pada
gadis beruntung itu.
“Maaf, tapi aku tak bisa menerima
perasaanmu,” lanjut gadis itu lagi. Dengan berat hati dan perasaan yang campur
aduk, Sehun meraih kembali surat itu.
“Kenapa?” tanya Sehun yang
berusaha tetap tenang.
“Karena sudah ada orang lain yang
aku sukai,” gadis itu berucap sambil menunduk, membuat Sehun semakin patah
hati.
“Baiklah. Aku mengerti. Maaf
kalau surat ini mengganggumu. Anggap saja ini tak pernah terjadi,” Sehun merasa
malu sekaligus kecewa. Tapi itu tidak masalah, Sehun sudah biasa dikecewakan.
Ia pun sudah sangat ahli dalam menyembunyikan sakit hatinya melalui ekspresi
datarnya. Topeng yang begitu sempurna.
Sehun baru saja hendak berbalik
dan beranjak dari hadapan gadis itu, namun gadis itu mengurungkannya dengan
sederet kalimat yang cukup untuk membuat Sehun hampir terkena serangan jantung
dadakan.
“Sudah ada orang yang kusukai..
Namanya Luhan. Luhan oppa. Dia kakakmu.. Maaf,”
**
Sesampainya di rumah, Luhan
menyambutnya dengan ceria dan senyum lebar.
“Ah, Sehun-a, adik kecilku! Kau
sudah pulang?” seru Luhan.
“Seperti yang kau lihat,” balas
Sehun cuek sambil melepaskan sepatunya. “Dimana abeoji dan eomma?” tanyanya
kemudian.
“Hari ini mereka pergi dinas
keluar kota. Mungkin selama 2-3 hari. Sebagai gantinya aku akan menemanimu di
rumah! Sudah lama sekali sejak aku tinggal di dorm karena kuliah, akhirnya kita
bisa bersama lagi, adik kecilku!” ujar Luhan antusias. Sehun mengabaikan
antusiasme kakaknya dan memilih untuk berlalu begitu saja menuju kamarnya.
“Katakan jika kau lapar. Aku akan
memasak untukmu, araji?” lanjut Luhan namun lagi-lagi Sehun tak menanggapinya.
Sehun mengeluarkan surat cinta
buatannya dari dalam tas dan memandanginya sedih. Ini pertama kalinya Sehun
ditolak oleh seorang gadis dan rasanya cukup menyakitkan. Kenapa selama
hidupnya Sehun harus selalu dinomorduakan? Sehun kesal. Ia meremat surat itu
dan melemparkannya ke tempat sampah. Setelah berganti pakaian, Sehun keluar
dari kamarnya dan menuju ke dapur untuk membuat makanannya sendiri.
“Sehun-a, apa kau lapar? Bukankah
sudah kubilang untuk mengatakannya padaku? Aku akan membuatkannya untukmu,”
sahut Luhan dari ruang tengah yang mendapati Sehun sibuk mencari bahan makanan
di dapur. Tanpa banyak basa-basi, Luhan langsung menghampiri Sehun.
“Aku bisa buat sendiri,” ucap
Sehun.
“Apa kau yakin? Bagaimana kalau
nanti kau terluka?” cemas Luhan.
Sehun menghentakkan peralatan
masak yang hendak ia gunakan hingga membuat Luhan berjengit kaget.
“Aku bukan anak kecil, hyung!”
pekik Sehun. “Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil. Aku bisa
melakukannya sendiri. Selama ini aku sudah biasa melakukan semuanya sendiri.
Apa aku terlihat seperti anak manja yang bodoh?”
Luhan terdiam membisu. Ia tak
pernah menyangka bahwa Sehun, adik kecil kesayangannya sudah berubah sedingin
dan sekasar ini. Sejak kapan? Apakah tinggal di dorm membuatnya tidak bisa
mengenali adiknya lagi?
“Sudahlah. Aku sudah tidak ingin
makan lagi,” Sehun beranjak dari dapur dan kembali kekamarnya dengan membanting
pintu. Luhan hanya melihat perilaku adiknya itu dengan perasaan campur aduk.
Sehun hanya bisa mengurung diri
dikamarnya karena kesal. Ia berniat membuang kekesalannya itu dengan
mengerjakan sesuatu. Ia mengacak-acak isi tasnya untuk mulai mengerjakan PR, namun
itu tidak membantu dan justru membuatnya semakin frustasi. Ia terduduk di meja
belajarnya dan mengerang pelan, sebelum akhirnya ia menemukan lembaran yang ia
dapat dari sekolahnya terjatuh di lantai. Sehun memungutnya malas, lantas
membacanya lirih.
“Universitas Seoul..?”
**
Paska kejadian itu, hubungan
Sehun dan Luhan menjadi sedikit canggung. Luhan tidak ingin memperkeruh suasana
dan memutuskan untuk tidak mengusik kesibukan Sehun. Mereka di rumah yang sama
bagaikan 2 orang asing. Sesekali Luhan mengintip apa yang Sehun lakukan, namun
tak berani untuk sekedar menegur. Setelah Sehun berangkat ke sekolah, Luhan
yang menjalankan tugas untuk membereskan dan membersihkan rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5
sore. Itu berarti Sehun akan segera pulang. Luhan menunggu dengan sabar setelah
menyiapkan beberapa makanan. Sebelum Sehun menunjukkan dirinya, Luhan tiba-tiba
mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal yang mangajaknya untuk bertemu di
suatu tempat.
Sehun baru saja sampai kerumahnya
ketika dilihatnya rumah begitu sepi. Ia mencoba memanggil kakaknya namun tak
ada jawaban. Ia mengecek kamar Luhan dan tak mendapati Luhan disana. Lalu ia
berjalan ke dapur dan menemukan beberapa masakan yang sudah tertata di atas
meja makan. Terbersit sedikit perasaan bersalah dalam benak Sehun karena
membentak Luhan kemarin. Ia hanya tak bisa mengendalikan emosinya saat itu.
Sekarang ia kebingungan karena Luhan pergi begitu saja tanpa memberinya kabar.
Tak terasa hari sudah pagi
kembali. Sehun tertidur di meja makan setelah makan malam karena menunggu Luhan
yang tak kunjung pulang. Saat ia terbangun, ia menemukan selimut yang sudah
melingkupinya. Dengan cepat ia beranjak untuk melihat apakah Luhan sudah
pulang.
“Hyung?” sapa Sehun saat melihat
Luhan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat.
“Ah, Sehun-a. Selamat pagi!”
balasnya seceria mungkin, namun Sehun tahu Luhan tidak sedang baik-baik saja.
“Kemarin kau pergi kemana?” tanya
Sehun.
“Bukan apa-apa. Hanya bertemu
teman lama.. Maaf membuatmu menunggu hingga tertidur di meja makan.. Seharusnya
aku mengabarimu terlebih dulu,” jawab Luhan.
“Ani. Aku tertidur karena aku
begitu lelah. Bukan karena menunggumu. Yang benar saja!” timpal Sehun ketus
lalu berlalu kekamarnya untuk bersiap-siap ke sekolah.
Saat Sehun sudah siap untuk
berangkat, ia tak melihat Luhan yang duduk menonton tv atau membereskan meja
makan atau apapun yang biasa kakaknya itu lakukan setiap pagi. Sehun merasakan
ada yang aneh. Ia lalu memeriksa kamar Luhan dan mendapati Luhan tertidur
disana.
“Sehun-a? Kau tidak berangkat?” tanya
Luhan yang membuat Sehun terkejut.
“Bagaimana kau tahu aku ada
disini?” balas Sehun.
“Aku kakakmu. Aku sudah hafal
bagaimana kau berjalan dengan hentakan yang khas itu, Sehun-a.” Sehun semakin
tertegun. Bahkan hal sekecil itupun Luhan sampai memperhatikannya.
“Apa kau baik-baik saja, hyung?”
“Aku baik-baik saja. Cepatlah ke
sekolah kalau tidak kau akan terlambat,” balas Luhan meyakinkan.
“Kau yakin?”
“Hmm. Sudahlah. Aku bisa
mengatasinya,”
“Baiklah. Kalau kau butuh
sesuatu, kau bisa hubungi aku,” ucap Sehun sebelum pergi. Meskipun ucapan Sehun
selalu terkesan datar dan dingin, sebenarnya ia cukup peduli dan jelas
mengkhawatirkan keadaan Luhan.
**
Selama di sekolah, Sehun begitu
gelisah. Sesekali ia memeriksa ponselnya kalau-kalau Luhan menghubunginya. Ia
begitu cemas hingga tak bisa fokus pada pelajarannya. Hingga sekolah berakhir,
Sehun masih belum mendapatkan kabar apa-apa. Seharusnya ia lega karena itu
berarti Luhan baik-baik saja. Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa sesuatu telah
terjadi. Ia pun memutuskan untuk menghubungi nomor Luhan terlebih dulu, untuk
sekedar memastikan.
Sehun terkejut saat tahu bukan
Luhan yang menjawab panggilannya, melainkan ibunya. Jantungnya bagaikan dihujam
ribuan tombak saat ibunya berucap dengan isakan bahwa Luhan masuk rumah sakit.
“Ia mengidap penyakit uremia. Salah satu gejala gagal ginjal dan ia
harus segera melakukan operasi transplantasi ginjal,”
Penjelasan dokter yang memeriksa
keadaan Luhan saat itu terus terngiang. Sehun benar-benar tidak percaya. Ia
hanya tidak siap dengan berita itu. Kenapa harus Luhan? Kenapa bukan ia saja,
yang notabenenya tidak terlalu membanggakan dan selalu terlupakan? Sehun benar-benar
menyesal dan tidak rela jika Luhan harus menderita karena penyakit itu.
Orangtua mereka baru saja pulang
dan mereka harus dihadapkan pada kenyataan sepahit itu. Sehun bisa mendengar
ibunya yang terus menangis setiap malam. Beberapa hari berlalu sejak diagnosa
itu. Mereka sudah mulai bisa menerima kenyataan dan mereka masih berusaha
mencari donor yang tepat untuk Luhan. Selama itu pula Luhan harus dirawat di
rumah sakit. Ayahnya tidak bisa menjadi pendonor karena ginjalnya tidak cocok.
Ibunya terlalu sedih dan tertekan, hingga kondisi fisiknya melemah dan tidak
diperbolehkan untuk menjadi pendonor. Satu-satunya harapan dalam keluarga itu
adalah Sehun.
Sehun sudah rela jika ia harus
kehilangan salah satu ginjalnya demi menyelamatkan Luhan. Namun hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa Sehun juga tidak layak untuk jadi pendonor. Satu
masalah belum selesai, kini muncul masalah lainnya. Dari hasil pemeriksaan,
Sehun divonis mengidap penyakit yang sama. Uremia.
Sehun merasa dunianya baru saja
runtuh. Di saat ia ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kakaknya, ia
justru tidak bisa. Di saat ia memiliki kesempatan untuk menunjukkan dirinya,
Tuhan tidak mengijinkannya. Kenapa, kenapa, dan kenapa. Sehun terus meratapi
itu. Ia bukan tipe orang yang lemah dan mudah menangis, namun kali ini ia tidak
bisa berbuat apapun selain menangis sejadinya. Sehun menolak untuk di rawat di
rumah sakit dengan alasan ia masih ingin dan perlu untuk pergi ke sekolah. Ia
berjanji untuk menginap di rumah sakit ketika ia telah menemukan pendonor yang
tepat. Walaupun pada kenyataannya ia tidak peduli lagi pada kesehatannya dan
justru mencari pendonor hanya untuk Luhan.
Sudah beberapa bulan Luhan di
rawat di rumah sakit, namun belum juga menemukan pendonor yang tepat. Selama
itu Luhan harus menjalani cuci darah untuk bisa bertahan karena keadaannya yang
semakin parah. Orangtua mereka sudah kehabisan akal, tidak tahu bagaimana lagi
bisa membiayai pengobatan kedua anaknya ketika hampir seluruh tabungan mereka
terpakai dan juga properti mereka terjual.
Sehun tidak tahan dengan semua
itu. Ia tidak bisa membiarkan kedua orangtuanya terus bersedih dan Luhan terus
menderita. Guru dan teman-teman sekolahnya mulai mengetahui hal itu dan
memberikan bantuan dana untuk keluarganya
Dengan keadaannya yang tengah
sakit keras, Sehun berhasil melalui ujian kelulusannya di SMA. Ia ingin
membuktikan pada kedua orangtuanya bahwa ia bisa lulus dengan nilai yang baik.
Namun hal itu terjadi di waktu yang tidak tepat. Luhan semakin parah dan
orangtuanya harus memperhatikan Luhan lebih ekstra. Sehun mengurungkan niatnya
untuk memberitahukan nilai ujiannya. Ia hanya bisa menyimpan itu semua dan
berusaha memaklumi situasi.
**
Siang itu Sehun menemani Luhan di
rumah sakit karena kedua orangtua mereka harus pergi untuk menyelesaikan urusan
administrasi rumah sakit. Meskipun di vonis penyakit yang sama, Sehun masih
bisa bertahan dan tetap bersikeras menolak untuk dirawat di rumah sakit. Sehun
tahu benar bahwa keadaan ekonomi keluarganya sedang sulit dan ia tidak ingin
menambah beban orangtuanya.
Sehun bisa melihat segala
peralatan kedokteran terpasang di tubuh Luhan. Mulai dari masker oksigen, dan
banyak selang yang melilit di sekitar tubuhnya. Sehun sangat terpukul. Ia
bahkan belum sempat meminta maaf pada kakak satu-satunya itu. Sehun menyesal.
Tak lama kemudian jari-jari Luhan tiba-tiba bergerak.
“Hyung!” pekik Sehun seraya
mendekati Luhan. Luhan berusaha membuka kedua matanya, dan mencoba tersenyum
saat melihat Sehun ada disampingnya.
“Hyung.. Bertahanlah.. Kau pasti
akan segera mendapatkan donor,” lirih Sehun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf.
Waktu itu aku membentakmu,” lanjutnya lagi. Sehun bisa merasakan tangan Luhan
yang berusaha menggapai tangannya. Tangan Luhan terasa begitu dingin. Ia
menggenggam lemah tangan Sehun dan membuat pertahanan Sehun runtuh. Sehun
menangis di depan Luhan untuk pertama kalinya sambil tangannya membalas genggaman
Luhan, berusaha meyakinkan Luhan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
**
2 years later...
Musim gugur tampak begitu indah
di mata Luhan. Warna oranye dedaunan yang gugur mendominasi pemandangan siang
itu. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menapaki tanah rerumputan yang sedikit
menanjak. Dengan seikat bunga mawar putih yang segar dalam genggamannya, ia
terus melangkah pasti.
“Sehun-a.. Bagaimana keadaanmu? Lihat,
aku sudah sembuh sekarang. Seseorang yang baik hati dengan rela mendonorkan
ginjalnya padaku.. Kenapa kau justru meninggalkanku? Kalau tahu seperti ini,
aku tidak akan menggunakan ginjal pendonor itu..” Luhan berucap dengan susah
payah. Airmatanya sudah tak terbendung lagi.
“Aku merindukanmu.. Maaf, karena
selalu menganggapmu adik kecilku... Kau sudah dewasa, Sehun-a, aku tahu itu.. Terima
kasih... Bagiku, kaulah yang terbaik..dan kau sudah membuktikannya..”
(FLASHBACK)
Hampir setiap malam Sehun tidak bisa tidur. Ia akan selalu mendengar
ibunya menangis. Orangtuanya sudah melakukan apa yang mereka bisa untuk
kesembuhan Luhan. Sehun juga tahu bahwa keadaannya sendiri semakin parah. Namun
ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengeluh atau menunjukkan rasa sakitnya.
Keluarganya sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk bisa membiayai pengobatan
Luhan. Mereka hanya bisa mengharapkan bantuan dari orang-orang.
Sehun sudah tidak kuat lagi. Ia tidak mungkin tega membiarkan
orangtuanya kesulitan dan menanggung malu karena harus terus menerima bantuan
dana demi pengobatan Luhan dan dirinya. Sehun cukup tahu diri dan ia tak ingin
semakin menyusahkan. Sejak itu ia bertekad untuk mengubur dalam-dalam segala
mimpi dan cita-citanya. Menjadikan semua itu tak lebih dari sekedar
angan-angan.
Di tengah kegundahan hatinya, ia mulai mengeluarkan secarik kertas dengan
alat tulis yang siap dalam genggamannya. Sambil terisak pedih, Sehun mulai
menuangkan segala yang ia pikirkan dan rasakan di atas kertas putih itu.
Mungkin Sehun telah melakukan kesalahan besar, tapi ia tetap harus menentukan
keputusan...
(FLASHBACK END)
Sesampainya di rumah, ruangan
pertama yang Luhan masuki adalah kamar adiknya. Bahkan jika kejadian itu telah
lama berlalu, rasa sesak dan pedih itu akan terus membekas dalam benaknya.
Luhan masih tidak percaya Sehun pergi semudah itu. Ia masih belum rela.
Dipandanginya seisi ruangan itu dan didapatinya foto-foto mereka dulu yang
terpajang di dinding kamar. Hampir dalam setiap foto tersebut Sehun menunjukkan
wajah datarnya. Namun hanya 1 foto yang menunjukkan Sehun tengah tersenyum. Itu
adalah momen kelulusan Sehun saat SMP, dimana Luhan merangkulnya dengan penuh
bangga. Luhan kemudian mulai menyadari sesuatu.
Sehun hanya ingin diakui.
(FLASHBACK)
Di saat kedua orangtua mereka dinas di luar kota, Luhan-lah yang
bertugas membereskan rumah. Ia berniat membersihkan kamar Sehun ketika
ditemukannya beberapa rematan kertas dari dalam tempat sampah. Semua kertas itu
adalah kertas ujian Sehun, dan semuanya mendapatkan nilai sempurna. Diam-diam
Luhan merapikan semua kertas itu dan menyimpannya. Ia juga menemukan sebuah
surat yang kemudian ia baca. Luhan terhenyak saat mengetahui semua itu. Ia
sadar bahwa Sehun bukanlah anak kecil lagi. Sehun sudah dewasa dan tidak
seharusnya ia selalu memperlakukan Sehun seperti anak kecil. Luhan sadar ia
telah melakukan kesalahan.
Saat menunggu kepulangan Sehun, Luhan mendapat pesan dari nomor tak
dikenal untuk bertemu di suatu tempat. Orang itu adalah salah satu teman
sekolah Sehun. Gadis yang Sehun sukai. Luhan cukup terkejut saat gadis itu
menyatakan perasaan padanya. Luhan adalah seorang kakak yang baik, dan ia tidak
akan pernah tega untuk mengkhianati Sehun.
“Tidak ada yang lebih buruk di dunia ini daripada mengkhianati adikku
sendiri,”
(FLASHBACK END)
Luhan terduduk di meja belajar
milik Sehun dan kembali menitikkan airmatanya ketika ditemukannya sebuah surat
pernyataan universitas dari dalam laci meja itu.
‘Dengan surat ini Universitas Nasional Seoul menyatakan bahwa Oh Sehun
telah lolos seleksi mahasiswa berprestasi dan diterima sebagai mahasiswa
jurusan arsitektur..’
**
EPILOGUE
Katakanlah Sehun egois.
Katakanlah Sehun terlalu gegabah. Sehun tidak sepintar Luhan, bukan berarti ia
bodoh. Sehun tidak sebaik Luhan, bukan berarti ia jahat/buruk. Sehun tidak suka
Luhan, bukan berarti ia membenci Luhan. Sehun hanya butuh kesempatan, untuk
bisa lebih menunjukkan siapa dirinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sehun adalah
anak yang baik dan lembut. Sehun adalah seorang pejuang yang rela berkorban.
Semua itu telah berhasil ia buktikan. Dan fakta itu semakin diperkuat ketika Sehun
ditemukan sudah tak bernyawa di dalam kamarnya setelah menenggak obat tidur
dalam dosis lebih.
“Abeoji, eomma.. merawat kami berdua tentu membebani kalian. Maafkan
aku.. Selama ini aku belum cukup membanggakan kalian. Setelah kepergianku, aku
harap kalian bisa lebih fokus pada kesembuhan Luhan hyung. Aku selalu berdoa
untuk kesembuhannya. Jika Luhan hyung bisa bertahan hidup, katakan padanya
untuk datang mengunjungiku dan mengabarkannya padaku. Terima kasih untuk
segalanya yang telah kalian berikan. Aku menyayangi kalian..
-Sehun-”
**END**
Ini bagussss bangettt...maaf aku baru nemu ff ini 2015..padahal ni dah hampir setahun sejak dipublish...hehheee *salamkenal*
BalasHapus