Selasa, 28 Januari 2014

MY LITTLE BROTHER





“MY LITTLE BROTHER”
( )

author : kxanoppa | genre : bro-mance, tragedy, angst | casts : luhan (exo-m) & sehun (exo-k) | rating : pg-13 | length : one-shot |notes : terinspirasi dari salah satu headline news di cina belakangan ini. Semua yang aku tulis disini hanya untuk bahan bacaan, selain hiburan juga mengandung nilai pastinya. Tolong jangan disalah-artikan dan juga perhatikan ratingnya sebelum membaca ya. Apa yang positif diambil, tapi yang negatif jangan ditiru atau dibawa serius. Semoga ini bisa bermanfaat. Maaf kalo ada typo dsb. Warning utk di part-part terakhir, karena alurnya bakal maju-mundur jadi jangan bingung ya. Mohon saran/kritik/pendapat kalian ya. Selamat membaca!
Inspirasi lagu : Shattered – Trading Yesterday. Disarankan untuk mendengar lagu ini saat membaca ^^


Summary : Sehun tidak sepintar Luhan, bukan berarti ia bodoh. Sehun tidak sebaik Luhan, bukan berarti ia jahat/buruk. Sehun tidak suka Luhan, bukan berarti ia membenci Luhan. Sehun hanya butuh kesempatan, untuk bisa lebih menunjukkan siapa dirinya. Apakah ia akan mendapatkan kesempatan itu?

**


PROLOGUE
Seorang pemuda tampan dengan kulit putih pucat terlihat sedang duduk serius di meja belajarnya. Sesuatu yang besar jelas telah terjadi padanya. Di tengah kegundahan hatinya, ia mulai mengeluarkan secarik kertas dengan alat tulis yang siap dalam genggamannya. Sambil terisak pedih, Sehun, pemuda itu, mulai menuangkan segala pikiran dan perasaannya di atas secarik kertas putih. Mungkin Sehun telah melakukan kesalahan besar, tapi ia tetap harus menentukan keputusan...

**


Sehun dan Luhan adalah 2 bersaudara. Sehun adik dan tentu saja Luhan adalah kakak. Mereka hidup di tengah-tengah keluarga yang bisa dibilang cukup harmonis. Seharusnya memang begitu. Namun tidak bagi Sehun. Orangtua mereka selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Luhan. Apapun yang Luhan lakukan pasti baik di mata orangtua mereka. Singkat kata, Luhan lebih segala-galanya dibandingkan Sehun. Sehun sedih. Sehun kecewa. Sejak kecil Sehun memang orang yang tertutup. Ia kesulitan dalam menyatakan apa yang ia pikirkan atau rasakan, hingga banyak orang menilainya dingin dan sombong. Berbeda dengan Luhan yang ramah dan murah senyum. Ya, Luhan memang yang terbaik.
Malam itu keluarga mereka mengadakan pesta kecil-kecilan di sela makan malam. Luhan baru saja lulus dari kuliahnya di jurusan arsitektur. Sehun memilih untuk segera masuk ke dalam kamarnya dan menyiapkan buku-bukunya untuk mulai mengerjakan PR, setelah ia selesai dengan makan malamnya. Bukan berarti Sehun tidak senang Luhan lulus. Ia hanya bosan karena Luhan terus menjadi tokoh utama bahkan ketika ia ada di tengah-tengah mereka. Sehun merasa seperti invisible man.
Di tengah kesibukannya memilih buku-buku, Sehun bisa mendengar percakapan antara orangtuanya dan Luhan di ruang tengah.
“Tidak ada yang bisa membanggakan kami selain kau, Luhan!” ucap ayahnya diikuti dengan tawa puas.
“Gamsahamnida, abeoji,” balas Luhan.
“Ne, apapun yang kau lakukan, kau pasti bisa berhasil dengan baik. Bukankah begitu, yeobeo?” sahut ibu mereka tak kalah senang.
“Ne, geureom!” balas sang ayah. “Ah, bahkan beberapa perusahaan sudah berusaha untuk merekrutmu ‘kan? Apa kau sudah memutuskan perusahaan mana yang akan kau pilih, Lu?” lanjut ayahnya.
“Ehm, untuk masalah itu aku belum benar-benar menentukan. Tapi aku akan segera memutuskannya. Eomma dan abeoji tak perlu khawatir,” jawab Luhan bijak. Setelah itu merekapun tertawa bersama.
Di dalam kamarnya, Sehun hanya bisa mendengarkan dengan hati yang pedih karena tak mendapat pengakuan apapun. Apakah mungkin keluarganya sendiri tega melupakannya? Sehun berniat melanjutkan aktivitasnya sebelum akhirnya ia menemukan secarik kertas ujian dari antara bukunya. Ia menarik kertas itu dan memandanginya dengan tatapan yang begitu datar. Ia kemudian meremat kertas ujian itu hingga tak berbentuk dan melemparnya ke tempat sampah. Bagi Sehun, nilai 100 sama sekali tidak ada artinya. Kecuali orangtuanya benar-benar akan mengakuinya.
**
Sehun menjalani hari-harinya dengan kekecewaan yang dalam. Ia tak pernah mengungkapkannya pada siapapun, karena toh siapa yang peduli? Tapi di balik kekecewaannya itu, ia juga tak memungkiri bahwa ia sangat bangga memiliki kakak seperti Luhan. Luhan adalah kakak yang baik dan terlampau baik. Sehun masih ingat dengan jelas ketika kecil dulu Luhan yang setiap hari mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Luhan begitu sabar dan penyayang. Namun tak jarang kebaikan Luhan ia salahartikan karena ia tidak suka selalu diperlakukan seperti anak kecil. Sehun sudah dewasa, tapi bagi Luhan ia tak lebih dari seorang adik kecil.
Di sekolahnya, ada seorang gadis yang Sehun sukai. Sehun sudah lama memendam perasaan itu. Gadis itu bahkan pernah kerumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Sehun berusaha keras untuk mengabaikan sifat tertutupnya demi menyatakan perasaan pada gadis itu. Hingga akhirnya saat itu tiba, Sehun justru mendapatkan kejutan lainnya.
“Maaf,” ucap seorang gadis dihadapan Sehun. Ditangannya, terulur sepucuk surat. Itu adalah surat dari Sehun yang sengaja ia selipkan di tas gadis itu. Surat pernyataan cintanya pada gadis beruntung itu.
“Maaf, tapi aku tak bisa menerima perasaanmu,” lanjut gadis itu lagi. Dengan berat hati dan perasaan yang campur aduk, Sehun meraih kembali surat itu.
“Kenapa?” tanya Sehun yang berusaha tetap tenang.
“Karena sudah ada orang lain yang aku sukai,” gadis itu berucap sambil menunduk, membuat Sehun semakin patah hati.
“Baiklah. Aku mengerti. Maaf kalau surat ini mengganggumu. Anggap saja ini tak pernah terjadi,” Sehun merasa malu sekaligus kecewa. Tapi itu tidak masalah, Sehun sudah biasa dikecewakan. Ia pun sudah sangat ahli dalam menyembunyikan sakit hatinya melalui ekspresi datarnya. Topeng yang begitu sempurna.
Sehun baru saja hendak berbalik dan beranjak dari hadapan gadis itu, namun gadis itu mengurungkannya dengan sederet kalimat yang cukup untuk membuat Sehun hampir terkena serangan jantung dadakan.
“Sudah ada orang yang kusukai.. Namanya Luhan. Luhan oppa. Dia kakakmu.. Maaf,”
**
Sesampainya di rumah, Luhan menyambutnya dengan ceria dan senyum lebar.
“Ah, Sehun-a, adik kecilku! Kau sudah pulang?” seru Luhan.
“Seperti yang kau lihat,” balas Sehun cuek sambil melepaskan sepatunya. “Dimana abeoji dan eomma?” tanyanya kemudian.
“Hari ini mereka pergi dinas keluar kota. Mungkin selama 2-3 hari. Sebagai gantinya aku akan menemanimu di rumah! Sudah lama sekali sejak aku tinggal di dorm karena kuliah, akhirnya kita bisa bersama lagi, adik kecilku!” ujar Luhan antusias. Sehun mengabaikan antusiasme kakaknya dan memilih untuk berlalu begitu saja menuju kamarnya.
“Katakan jika kau lapar. Aku akan memasak untukmu, araji?” lanjut Luhan namun lagi-lagi Sehun tak menanggapinya.
Sehun mengeluarkan surat cinta buatannya dari dalam tas dan memandanginya sedih. Ini pertama kalinya Sehun ditolak oleh seorang gadis dan rasanya cukup menyakitkan. Kenapa selama hidupnya Sehun harus selalu dinomorduakan? Sehun kesal. Ia meremat surat itu dan melemparkannya ke tempat sampah. Setelah berganti pakaian, Sehun keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur untuk membuat makanannya sendiri.
“Sehun-a, apa kau lapar? Bukankah sudah kubilang untuk mengatakannya padaku? Aku akan membuatkannya untukmu,” sahut Luhan dari ruang tengah yang mendapati Sehun sibuk mencari bahan makanan di dapur. Tanpa banyak basa-basi, Luhan langsung menghampiri Sehun.
“Aku bisa buat sendiri,” ucap Sehun.
“Apa kau yakin? Bagaimana kalau nanti kau terluka?” cemas Luhan.
Sehun menghentakkan peralatan masak yang hendak ia gunakan hingga membuat Luhan berjengit kaget.
“Aku bukan anak kecil, hyung!” pekik Sehun. “Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil. Aku bisa melakukannya sendiri. Selama ini aku sudah biasa melakukan semuanya sendiri. Apa aku terlihat seperti anak manja yang bodoh?”
Luhan terdiam membisu. Ia tak pernah menyangka bahwa Sehun, adik kecil kesayangannya sudah berubah sedingin dan sekasar ini. Sejak kapan? Apakah tinggal di dorm membuatnya tidak bisa mengenali adiknya lagi?
“Sudahlah. Aku sudah tidak ingin makan lagi,” Sehun beranjak dari dapur dan kembali kekamarnya dengan membanting pintu. Luhan hanya melihat perilaku adiknya itu dengan perasaan campur aduk.
Sehun hanya bisa mengurung diri dikamarnya karena kesal. Ia berniat membuang kekesalannya itu dengan mengerjakan sesuatu. Ia mengacak-acak isi tasnya untuk mulai mengerjakan PR, namun itu tidak membantu dan justru membuatnya semakin frustasi. Ia terduduk di meja belajarnya dan mengerang pelan, sebelum akhirnya ia menemukan lembaran yang ia dapat dari sekolahnya terjatuh di lantai. Sehun memungutnya malas, lantas membacanya lirih.
“Universitas Seoul..?”
**
Paska kejadian itu, hubungan Sehun dan Luhan menjadi sedikit canggung. Luhan tidak ingin memperkeruh suasana dan memutuskan untuk tidak mengusik kesibukan Sehun. Mereka di rumah yang sama bagaikan 2 orang asing. Sesekali Luhan mengintip apa yang Sehun lakukan, namun tak berani untuk sekedar menegur. Setelah Sehun berangkat ke sekolah, Luhan yang menjalankan tugas untuk membereskan dan membersihkan rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Itu berarti Sehun akan segera pulang. Luhan menunggu dengan sabar setelah menyiapkan beberapa makanan. Sebelum Sehun menunjukkan dirinya, Luhan tiba-tiba mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal yang mangajaknya untuk bertemu di suatu tempat.
Sehun baru saja sampai kerumahnya ketika dilihatnya rumah begitu sepi. Ia mencoba memanggil kakaknya namun tak ada jawaban. Ia mengecek kamar Luhan dan tak mendapati Luhan disana. Lalu ia berjalan ke dapur dan menemukan beberapa masakan yang sudah tertata di atas meja makan. Terbersit sedikit perasaan bersalah dalam benak Sehun karena membentak Luhan kemarin. Ia hanya tak bisa mengendalikan emosinya saat itu. Sekarang ia kebingungan karena Luhan pergi begitu saja tanpa memberinya kabar.
Tak terasa hari sudah pagi kembali. Sehun tertidur di meja makan setelah makan malam karena menunggu Luhan yang tak kunjung pulang. Saat ia terbangun, ia menemukan selimut yang sudah melingkupinya. Dengan cepat ia beranjak untuk melihat apakah Luhan sudah pulang.
“Hyung?” sapa Sehun saat melihat Luhan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat.
“Ah, Sehun-a. Selamat pagi!” balasnya seceria mungkin, namun Sehun tahu Luhan tidak sedang baik-baik saja.
“Kemarin kau pergi kemana?” tanya Sehun.
“Bukan apa-apa. Hanya bertemu teman lama.. Maaf membuatmu menunggu hingga tertidur di meja makan.. Seharusnya aku mengabarimu terlebih dulu,” jawab Luhan.
“Ani. Aku tertidur karena aku begitu lelah. Bukan karena menunggumu. Yang benar saja!” timpal Sehun ketus lalu berlalu kekamarnya untuk bersiap-siap ke sekolah.
Saat Sehun sudah siap untuk berangkat, ia tak melihat Luhan yang duduk menonton tv atau membereskan meja makan atau apapun yang biasa kakaknya itu lakukan setiap pagi. Sehun merasakan ada yang aneh. Ia lalu memeriksa kamar Luhan dan mendapati Luhan tertidur disana.
“Sehun-a? Kau tidak berangkat?” tanya Luhan yang membuat Sehun terkejut.
“Bagaimana kau tahu aku ada disini?” balas Sehun.
“Aku kakakmu. Aku sudah hafal bagaimana kau berjalan dengan hentakan yang khas itu, Sehun-a.” Sehun semakin tertegun. Bahkan hal sekecil itupun Luhan sampai memperhatikannya.
“Apa kau baik-baik saja, hyung?”
“Aku baik-baik saja. Cepatlah ke sekolah kalau tidak kau akan terlambat,” balas Luhan meyakinkan.
“Kau yakin?”
“Hmm. Sudahlah. Aku bisa mengatasinya,”
“Baiklah. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa hubungi aku,” ucap Sehun sebelum pergi. Meskipun ucapan Sehun selalu terkesan datar dan dingin, sebenarnya ia cukup peduli dan jelas mengkhawatirkan keadaan Luhan.
**
Selama di sekolah, Sehun begitu gelisah. Sesekali ia memeriksa ponselnya kalau-kalau Luhan menghubunginya. Ia begitu cemas hingga tak bisa fokus pada pelajarannya. Hingga sekolah berakhir, Sehun masih belum mendapatkan kabar apa-apa. Seharusnya ia lega karena itu berarti Luhan baik-baik saja. Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Ia pun memutuskan untuk menghubungi nomor Luhan terlebih dulu, untuk sekedar memastikan.
Sehun terkejut saat tahu bukan Luhan yang menjawab panggilannya, melainkan ibunya. Jantungnya bagaikan dihujam ribuan tombak saat ibunya berucap dengan isakan bahwa Luhan masuk rumah sakit.

“Ia mengidap penyakit uremia. Salah satu gejala gagal ginjal dan ia harus segera melakukan operasi transplantasi ginjal,”

Penjelasan dokter yang memeriksa keadaan Luhan saat itu terus terngiang. Sehun benar-benar tidak percaya. Ia hanya tidak siap dengan berita itu. Kenapa harus Luhan? Kenapa bukan ia saja, yang notabenenya tidak terlalu membanggakan dan selalu terlupakan? Sehun benar-benar menyesal dan tidak rela jika Luhan harus menderita karena penyakit itu.
Orangtua mereka baru saja pulang dan mereka harus dihadapkan pada kenyataan sepahit itu. Sehun bisa mendengar ibunya yang terus menangis setiap malam. Beberapa hari berlalu sejak diagnosa itu. Mereka sudah mulai bisa menerima kenyataan dan mereka masih berusaha mencari donor yang tepat untuk Luhan. Selama itu pula Luhan harus dirawat di rumah sakit. Ayahnya tidak bisa menjadi pendonor karena ginjalnya tidak cocok. Ibunya terlalu sedih dan tertekan, hingga kondisi fisiknya melemah dan tidak diperbolehkan untuk menjadi pendonor. Satu-satunya harapan dalam keluarga itu adalah Sehun.
Sehun sudah rela jika ia harus kehilangan salah satu ginjalnya demi menyelamatkan Luhan. Namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Sehun juga tidak layak untuk jadi pendonor. Satu masalah belum selesai, kini muncul masalah lainnya. Dari hasil pemeriksaan, Sehun divonis mengidap penyakit yang sama. Uremia.
Sehun merasa dunianya baru saja runtuh. Di saat ia ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kakaknya, ia justru tidak bisa. Di saat ia memiliki kesempatan untuk menunjukkan dirinya, Tuhan tidak mengijinkannya. Kenapa, kenapa, dan kenapa. Sehun terus meratapi itu. Ia bukan tipe orang yang lemah dan mudah menangis, namun kali ini ia tidak bisa berbuat apapun selain menangis sejadinya. Sehun menolak untuk di rawat di rumah sakit dengan alasan ia masih ingin dan perlu untuk pergi ke sekolah. Ia berjanji untuk menginap di rumah sakit ketika ia telah menemukan pendonor yang tepat. Walaupun pada kenyataannya ia tidak peduli lagi pada kesehatannya dan justru mencari pendonor hanya untuk Luhan.
Sudah beberapa bulan Luhan di rawat di rumah sakit, namun belum juga menemukan pendonor yang tepat. Selama itu Luhan harus menjalani cuci darah untuk bisa bertahan karena keadaannya yang semakin parah. Orangtua mereka sudah kehabisan akal, tidak tahu bagaimana lagi bisa membiayai pengobatan kedua anaknya ketika hampir seluruh tabungan mereka terpakai dan juga properti mereka terjual.
Sehun tidak tahan dengan semua itu. Ia tidak bisa membiarkan kedua orangtuanya terus bersedih dan Luhan terus menderita. Guru dan teman-teman sekolahnya mulai mengetahui hal itu dan memberikan bantuan dana untuk keluarganya
Dengan keadaannya yang tengah sakit keras, Sehun berhasil melalui ujian kelulusannya di SMA. Ia ingin membuktikan pada kedua orangtuanya bahwa ia bisa lulus dengan nilai yang baik. Namun hal itu terjadi di waktu yang tidak tepat. Luhan semakin parah dan orangtuanya harus memperhatikan Luhan lebih ekstra. Sehun mengurungkan niatnya untuk memberitahukan nilai ujiannya. Ia hanya bisa menyimpan itu semua dan berusaha memaklumi situasi.
**
Siang itu Sehun menemani Luhan di rumah sakit karena kedua orangtua mereka harus pergi untuk menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit. Meskipun di vonis penyakit yang sama, Sehun masih bisa bertahan dan tetap bersikeras menolak untuk dirawat di rumah sakit. Sehun tahu benar bahwa keadaan ekonomi keluarganya sedang sulit dan ia tidak ingin menambah beban orangtuanya.
Sehun bisa melihat segala peralatan kedokteran terpasang di tubuh Luhan. Mulai dari masker oksigen, dan banyak selang yang melilit di sekitar tubuhnya. Sehun sangat terpukul. Ia bahkan belum sempat meminta maaf pada kakak satu-satunya itu. Sehun menyesal. Tak lama kemudian jari-jari Luhan tiba-tiba bergerak.
“Hyung!” pekik Sehun seraya mendekati Luhan. Luhan berusaha membuka kedua matanya, dan mencoba tersenyum saat melihat Sehun ada disampingnya.
“Hyung.. Bertahanlah.. Kau pasti akan segera mendapatkan donor,” lirih Sehun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf. Waktu itu aku membentakmu,” lanjutnya lagi. Sehun bisa merasakan tangan Luhan yang berusaha menggapai tangannya. Tangan Luhan terasa begitu dingin. Ia menggenggam lemah tangan Sehun dan membuat pertahanan Sehun runtuh. Sehun menangis di depan Luhan untuk pertama kalinya sambil tangannya membalas genggaman Luhan, berusaha meyakinkan Luhan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
**
2 years later...
Musim gugur tampak begitu indah di mata Luhan. Warna oranye dedaunan yang gugur mendominasi pemandangan siang itu. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menapaki tanah rerumputan yang sedikit menanjak. Dengan seikat bunga mawar putih yang segar dalam genggamannya, ia terus melangkah pasti.
“Sehun-a.. Bagaimana keadaanmu? Lihat, aku sudah sembuh sekarang. Seseorang yang baik hati dengan rela mendonorkan ginjalnya padaku.. Kenapa kau justru meninggalkanku? Kalau tahu seperti ini, aku tidak akan menggunakan ginjal pendonor itu..” Luhan berucap dengan susah payah. Airmatanya sudah tak terbendung lagi.
“Aku merindukanmu.. Maaf, karena selalu menganggapmu adik kecilku... Kau sudah dewasa, Sehun-a, aku tahu itu.. Terima kasih... Bagiku, kaulah yang terbaik..dan kau sudah membuktikannya..”

(FLASHBACK)
Hampir setiap malam Sehun tidak bisa tidur. Ia akan selalu mendengar ibunya menangis. Orangtuanya sudah melakukan apa yang mereka bisa untuk kesembuhan Luhan. Sehun juga tahu bahwa keadaannya sendiri semakin parah. Namun ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengeluh atau menunjukkan rasa sakitnya. Keluarganya sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk bisa membiayai pengobatan Luhan. Mereka hanya bisa mengharapkan bantuan dari orang-orang.
Sehun sudah tidak kuat lagi. Ia tidak mungkin tega membiarkan orangtuanya kesulitan dan menanggung malu karena harus terus menerima bantuan dana demi pengobatan Luhan dan dirinya. Sehun cukup tahu diri dan ia tak ingin semakin menyusahkan. Sejak itu ia bertekad untuk mengubur dalam-dalam segala mimpi dan cita-citanya. Menjadikan semua itu tak lebih dari sekedar angan-angan.
Di tengah kegundahan hatinya, ia mulai mengeluarkan secarik kertas dengan alat tulis yang siap dalam genggamannya. Sambil terisak pedih, Sehun mulai menuangkan segala yang ia pikirkan dan rasakan di atas kertas putih itu. Mungkin Sehun telah melakukan kesalahan besar, tapi ia tetap harus menentukan keputusan...
(FLASHBACK END)

Sesampainya di rumah, ruangan pertama yang Luhan masuki adalah kamar adiknya. Bahkan jika kejadian itu telah lama berlalu, rasa sesak dan pedih itu akan terus membekas dalam benaknya. Luhan masih tidak percaya Sehun pergi semudah itu. Ia masih belum rela. Dipandanginya seisi ruangan itu dan didapatinya foto-foto mereka dulu yang terpajang di dinding kamar. Hampir dalam setiap foto tersebut Sehun menunjukkan wajah datarnya. Namun hanya 1 foto yang menunjukkan Sehun tengah tersenyum. Itu adalah momen kelulusan Sehun saat SMP, dimana Luhan merangkulnya dengan penuh bangga. Luhan kemudian mulai menyadari sesuatu.

Sehun hanya ingin diakui.

(FLASHBACK)
Di saat kedua orangtua mereka dinas di luar kota, Luhan-lah yang bertugas membereskan rumah. Ia berniat membersihkan kamar Sehun ketika ditemukannya beberapa rematan kertas dari dalam tempat sampah. Semua kertas itu adalah kertas ujian Sehun, dan semuanya mendapatkan nilai sempurna. Diam-diam Luhan merapikan semua kertas itu dan menyimpannya. Ia juga menemukan sebuah surat yang kemudian ia baca. Luhan terhenyak saat mengetahui semua itu. Ia sadar bahwa Sehun bukanlah anak kecil lagi. Sehun sudah dewasa dan tidak seharusnya ia selalu memperlakukan Sehun seperti anak kecil. Luhan sadar ia telah melakukan kesalahan.
Saat menunggu kepulangan Sehun, Luhan mendapat pesan dari nomor tak dikenal untuk bertemu di suatu tempat. Orang itu adalah salah satu teman sekolah Sehun. Gadis yang Sehun sukai. Luhan cukup terkejut saat gadis itu menyatakan perasaan padanya. Luhan adalah seorang kakak yang baik, dan ia tidak akan pernah tega untuk mengkhianati Sehun.

“Tidak ada yang lebih buruk di dunia ini daripada mengkhianati adikku sendiri,”

(FLASHBACK END)

Luhan terduduk di meja belajar milik Sehun dan kembali menitikkan airmatanya ketika ditemukannya sebuah surat pernyataan universitas dari dalam laci meja itu.
‘Dengan surat ini Universitas Nasional Seoul menyatakan bahwa Oh Sehun telah lolos seleksi mahasiswa berprestasi dan diterima sebagai mahasiswa jurusan arsitektur..’

**


EPILOGUE
Katakanlah Sehun egois. Katakanlah Sehun terlalu gegabah. Sehun tidak sepintar Luhan, bukan berarti ia bodoh. Sehun tidak sebaik Luhan, bukan berarti ia jahat/buruk. Sehun tidak suka Luhan, bukan berarti ia membenci Luhan. Sehun hanya butuh kesempatan, untuk bisa lebih menunjukkan siapa dirinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sehun adalah anak yang baik dan lembut. Sehun adalah seorang pejuang yang rela berkorban. Semua itu telah berhasil ia buktikan. Dan fakta itu semakin diperkuat ketika Sehun ditemukan sudah tak bernyawa di dalam kamarnya setelah menenggak obat tidur dalam dosis lebih.


“Abeoji, eomma.. merawat kami berdua tentu membebani kalian. Maafkan aku.. Selama ini aku belum cukup membanggakan kalian. Setelah kepergianku, aku harap kalian bisa lebih fokus pada kesembuhan Luhan hyung. Aku selalu berdoa untuk kesembuhannya. Jika Luhan hyung bisa bertahan hidup, katakan padanya untuk datang mengunjungiku dan mengabarkannya padaku. Terima kasih untuk segalanya yang telah kalian berikan. Aku menyayangi kalian..

-Sehun-”




**END**

1 komentar:

  1. Ini bagussss bangettt...maaf aku baru nemu ff ini 2015..padahal ni dah hampir setahun sejak dipublish...hehheee *salamkenal*

    BalasHapus