“COMPASS”
(Part
1)
By : Kxanoppa | Tags : Lee Donghae, Cho
Kyuhyun, Michelle Wang (OC), Han Seolji (OC), Yoon Heejun (OC), nyonya Hong
(OC) | Genre : Life, Romance, Tragedy, Angst | Length : Chaptered | Rating :
PG-17
A/N : Paragraf yang
dicetak miring dalam storyline menandakan flashback. Beware of any typos.
Thanks to tifftania
for the amazing poster!
Recommended Song :
*
Summary :
“Ketika hingar bingar kehidupan kota, dengan segala fasilitas berkelas
dan gaya hidup modern yang mewah belum memenuhi kepuasan batinmu.. Ketika takdir
mempertemukanmu dengan seseorang yang tak pernah kau bayangkan akan hadir dalam
hidupmu dan membawa pengaruh yang mampu merubah hidupmu, secara total.
—Bagaikan sebuah kompas, kau membuat hidupku terarah—
(Michelle Wang)“
*
Michelle Wang, seorang gadis 21
tahun yang memiliki segalanya. Kesempurnaan fisik, kekayaan, perhatian, dan
cinta. Hidup di tengah-tengah keluarga yang utuh dan harmonis. Sejak kecil,
Michelle selalu mendapat fasilitas nomor 1 dan sudah bisa mengecap indahnya
hidup berkecukupan, tanpa ia harus bersusah payah untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Sejak memasuki kehidupan
perkuliahannya, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen di dekat
kampusnya dengan sebuah kendaraan berupa mobil, yang diberikan khusus oleh
orangtuanya untuk mempermudah aktivitas putri kesayangan mereka itu. Uang saku
yang hampir mencapai nominal 10 juta per bulan, masih belum cukup untuk membuat
Michelle sepenuhnya mengerti tentang apa arti kata menabung. Ia justru
kebingungan mencari cara, bagaimana bisa menggunakan uang sakunya itu dengan
maksimal.
You Only Live Once, adalah motto
yang hingga kini dipegang teguh oleh Michelle. Dalam sudut pandangnya, motto itu menuntunnya untuk bisa
menikmati hidup dengan melakukan apapun yang ia sukai. Apapun. Terlepas dari
konotasi negatif yang melekat dengan konteks itu. Kehidupan hedonis telah
menguasainya. Ia tidak mempersalahkan pergaulannya, termasuk teman-temannya
yang terlibat di dalamnya. Tidak ada istilah lingkungan yang buruk. Karena
hidup adalah sebuah pilihan, dan Michelle telah menetapkan pilihannya sendiri.
Terkadang, rasa bersalah dan
penyesalan itu ada. Namun Michelle berusaha untuk membuangnya jauh-jauh. Sekali
lagi, motto andalannya itu yang terus
memotivasinya.
“Sampai kapan kau akan terus
minum? Kau sudah minum terlalu banyak, Michelle! Ini bahkan hampir jam 4 pagi
dan kau masih asik di sini!” seru salah seorang temannya yang mencoba
memperingatkannya.
“Ya, Seolji-a! Kenapa sih,
kau ini cerewet sekali? Aish..
Mengganggu kesenanganku saja,” balas Michelle dengan nada dan intonasi
naik-turun, seperti layaknya orang yang sedang mabuk.
Seolji meraih botol minuman keras
yang nyaris kosong itu dari hadapan Michelle, berniat mencegah gadis itu untuk
meminumnya lagi. “Kau ‘kan harus menyetir! Bagaimana mungkin kau menyetir dalam
keadaan seperti ini, eoh?” seru Seolji untuk kedua-kalinya. Michelle
menjatuhkan kepalanya yang terasa berat ke atas meja. Tak dihiraukannya
peringatan Seolji, dan justru menggumamkan hal-hal tak jelas. “Ya! Jangan tidur di sini, aish! Kau ini selalu merepotkan!” Tanpa
pikir panjang, Seolji langsung merogoh tas Michelle untuk mengambil ponsel
gadis itu dan menghubungi sebuah kontak.
“Ya, Cho Kyuhyun! Tolong urus kekasihmu yang tukang mabuk ini. Aku
harus segera kembali sebelum orangtuaku sampai ke rumah dan membunuhku!” tanpa
mendengar jawaban dari si penerima telpon, Seolji langsung memutuskan sambungan
itu secara sepihak. “Ya, kau tunggu
di sini dan jangan kemana-mana. Sebentar lagi Kyuhyun akan menjemputmu, ara?
Aku pergi!” pekik Seolji sebelum akhirnya menghambur keluar pub dengan tergesa.
*
Seorang pria muda baru saja
terbangun dari tidur lelapnya. Ia bangkit dari ranjangnya dengan hati-hati.
Sedikit tertatih ia melangkahkan kakinya, sambil tangannya meraba permukaan
dinding mencari sesuatu yang sangat dibutuhkannya untuk membuatnya berjalan
dengan seimbang. Sebuah tongkat kayu panjang berwarna coklat gelap, yang ia
sandarkan di dinding kamarnya.
Pemuda itu segera melesak ke luar
kamar dengan bantuan tongkatnya, dan tertegun ketika sebuah suara lembut
menyambutnya.
“Donghae-a, kau sudah bangun?” tanya wanita paruh baya itu lembut. Donghae
menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dan tersenyum.
“Ne, eommonim,” balas Donghae sopan kepada nyonya Hong, ibu
angkatnya yang telah merawatnya dengan sangat baik, sejak ia tinggal di panti.
“Sebelum pergi ke pasar,
sarapanlah dulu. Aku baru saja selesai membuatkan sarapan kesukaanmu.
Kemarilah,” ajak nyonya Hong ramah, sambil menggeret salah satu kursi di meja
makan untuk Lee Donghae, anak asuhnya.
“Ah, ne, eommonim. Gomapsumnida,”
ujar Donghae dengan senyuman lebar. Dengan hati-hati Donghae menggerakkan
tongkatnya untuk menuntunnya berjalan, dan menempati bangku yang telah
disediakan nyonya Hong untuknya.
*
Michelle melenguh pelan,
merasakan hangat matahari yang mulai menyeruak masuk dari celah jendela. Ia
membuka matanya susah payah dan menyipitkannya kembali saat silau cahaya
matahari memaksa masuk dalam penglihatannya.
Niatnya untuk segera bangkit dari
tidurnya terpaksa ia urungkan saat ia sadar sebuah tangan kokoh tengah
merengkuhnya posesif. Michelle semakin tak berkutik ketika seseorang itu mulai
menciumi pundak dan lehernya.
“Selamat siang, sayang,”
mendengar suara berat seorang pria yang sangat khas itu, Michelle membalikkan
tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.
“Kyu?” Michelle membelalakkan
matanya. “Beraninya kau mencuri kesempatan—“ Ia berniat melanjutkan kalimatnya
jika saja Kyuhyun tidak membungkamnya dengan sebuah ciuman. Michelle berusaha
melepaskan tautan itu, namun Kyuhyun terus merengkuhnya hingga membuat Michelle
menyerah dan terkekeh di sela ciuman mereka. Cukup lama mereka terhanyut dalam
dunia mereka sendiri, hingga akhirnya Michelle kembali tersadar dan mendorong
kuat tubuh Kyuhyun.
“Hentikan, Kyu! Jam berapa ini?
Aku baru ingat kalau hari ini ada tes! Aigo!” pekik Michelle, kemudian bangkit
dari tempat tidurnya. Hanya dengan berbalutkan selimut, ia melesak menuju kamar
mandi untuk bisa segera bersiap dan pergi ke kampus.
Setelah menghabiskan beberapa
menit untuk bersiap, Michelle berniat untuk segera pergi meninggalkan apartemen
Kyuhyun.
“Perlu ku antar?” tawar Kyuhyun
yang sudah duduk di pinggir ranjang dengan hanya mengenakan celana jeans-nya.
“Ani. Gwenchana. Selesai kuliah, aku akan menghubungimu. Aku pergi!”
serunya kemudian beranjak pergi, setelah sebelumnya mengecup singkat pipi
Kyuhyun.
Efek bir hitam yang ia minum
semalam masih bisa dirasakannya. Kepalanya masih terasa pening, di tambah mual
yang membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perutnya. Dengan sisa kekuatan
yang dimilikinya, ia mulai mengemudikan mobilnya.
*
Waktu berjalan begitu cepat. Tak
terasa hari mulai gelap kembali. Setelah seharian bekerja di pasar, Donghae
mulai membereskan dagangannya satu per satu dan bersiap-siap untuk segera
kembali ke panti.
“Kau sudah mau pulang, oppa? Biar aku bantu membereskan dan
membawakan barang-barangmu,” tawar seorang gadis kenalan Donghae, yang juga
bekerja di pasar itu.
“Ah, ne, Heejun-a. Anieyo. Biar aku sendiri saja,” tolaknya
halus, dengan senyumnya yang selalu menawan bagi Heejun. Mendengar penolakan
itu, Heejun-pun menurut dan hanya bisa mengawasi kegiatan Donghae dalam diam,
hingga tiba-tiba seekor anjing muncul dan membuat semua sisa dagangan Donghae
yang telah tertata rapi jadi berantakan.
“Donghae oppa, gwenchana?” tanya Heejun cemas, saat dilihatnya ada luka
goresan di lengan Donghae.
“Gwenchana—“
“Tanganmu terluka, oppa. Sini, biarkan aku membantumu. Aku
tidak terima penolakan lagi,” potong Heejun cepat, kemudian membantu Donghae
merapikan dan membawakan barang-barangnya. Kali ini Donghae benar-benar tak
bisa menolak.
Meskipun wajahnya selalu tersenyum,
tak bisa dipungkiri bahwa hati Donghae begitu hancur. Hancur saat mengetahui
fakta tentang orangtuanya yang tega meninggalkannya karena ia buta. Keadaannya
yang terbatas membuatnya selalu dikasihani dan ia sangat membenci itu. Selama
ini ia selalu berusaha untuk tidak membuat siapapun khawatir dan bahwa ia bisa
melakukan apapun sendiri, seperti orang normal lainnya.
“Mianhae,” ucap Donghae di sela langkah mereka untuk pulang. Heejun menghentikan
langkahnya karena tertegun dan menatap Donghae penuh tanya, meski ia tahu, pria
itu tak bisa melihatnya.
“Kenapa meminta maaf, oppa?” tanya Heejun pada akhirnya.
“Mianhae, karena aku buta dan merepotkan,” balas Donghae yang
membuat Heejun begitu tersentuh.
“Apa maksud oppa? Oppa sama sekali tak
merepotkan. Meskipun oppa tidak bisa
melihat, aku tetap suka oppa,” tukas
Heejun terbawa emosi, hingga ia sendiri tidak sadar telah mengungkapkan
perasaannya. Dengan tatapannya yang menerawang lurus jauh ke depan, Donghae
terdiam, menanti Heejun untuk menjelaskan maksud perkataannya.
“A-aku—Aku menyukaimu, oppa,” lanjut Heejun lagi sambil
tertunduk menahan gemuruh dalam dadanya. Hening untuk beberapa saat, sebelum
Donghae memutuskan untuk kembali bersuara.
“Jangan,” sergah Donghae singkat.
Heejun mengangkat wajahnya dan semakin tak mengerti.
“Jangan menyukai pria sepertiku,
karena aku tidak pantas untukmu,” perkataan Donghae bagaikan belati yang
menghujam jantung Heejun. Begitu menyakitkan. Heejun terdiam, kehabisan
kata-kata, sekaligus tak kuasa untuk kembali bersuara karena tenggorokannya
yang tiba-tiba tercekat. Dalam keheningan yang menyesakkan itu, Heejun
menitikkan airmatanya.
“Terserah oppa saja,” ucap Heejun cepat dengan suara yang dipaksakan, sebelum
akhirnya Heejun menyerah dan meninggalkan Donghae begitu saja.
*
Michelle baru saja menyelesaikan
kuliahnya sore itu. Tanpa pikir panjang, Michelle memutuskan untuk segera
menemui Kyuhyun di apartemennya dan sengaja tidak menghubungi pria itu lebih
dulu untuk mengejutkannya. Ia ingin tahu apa yang sedang Kyuhyun lakukan selama
menunggu dirinya pulang kuliah. Sebentar saja berpisah dari pria itu, rasanya
begitu menyiksa bagi Michelle. Ia terlanjur jatuh dalam pesona seorang Cho
Kyuhyun, dan ia percaya bahwa Kyuhyun adalah pria terakhir yang akan menempati
ruang hatinya.
Sebelum memasuki area apartemen
Kyuhyun, ia menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah supermarket untuk membeli
beberapa bahan makanan. Ia berencana untuk memasak dan makan malam bersama
Kyuhyun.
Dengan tidak sabaran, Michelle
menekan tombol angka pada elevator beberapa kali, berpikir bahwa usahanya itu
dapat mempercepat laju elevator untuk sampai pada nomor lantai yang ditujunya.
Setelah pintu elevator terbuka, ia melangkah setengah berlari dengan belanjaan
pada kedua tangannya. Ia menekan beberapa digit password apartemen Kyuhyun yang
sudah dihapalnya di luar kepala, setelah sebelumnya meletakkan kantung-kantung
belanjaannya di atas lantai marmer bangunan itu.
Klik. Pintu terbuka. Michelle
menyebut nama Kyuhyun beberapa kali namun tak ada tanggapan. Ruangan tengah
apartemen terlihat remang dan sunyi. Apakah Kyuhyun sedang keluar? Michelle
tidak ambil pusing dengan semua itu, dan meneruskan langkahnya menuju dapur,
setelah sebelumnya ia menyalakan lampu di ruangan itu. Ia meletakkan semua
belanjaannya di atas meja pantry dan berniat menyiapkan alat-alat masak yang
dibutuhkan. Aktivitasnya langsung terhenti, saat tiba-tiba suara gaduh
terdengar olehnya.
“Kyu?” Michelle memastikan sekali
lagi apakah suara gaduh itu berasal dari kekasihnya. Namun lagi-lagi tak ada
tanggapan. Suara gaduh itu lenyap. Michelle baru saja akan melanjutkan
aktivitasnya untuk memasukkan bahan-bahan makanan yang tadi dibelinya ke dalam
wajan, jika saja suara-suara asing itu tidak mengganggu indera pendengarannya
lagi. Seakan mencelos, jantung Michelle berdebar tak biasa saat didengarnya
suara seperti tawa seorang wanita. Dengan susah payah ia menepis segala pikiran
jeleknya. Tidak mungkin Kyuhyun mengkhianatinya. Perlahan, ia membiarkan rasa
penasarannya menuntunnya mendekati sumber suara. Tepat di depan kamar Kyuhyun.
Ia mendekatkan telinganya pada pintu kamar itu, dan suara gaduh itu terdengar
semakin jelas. Tubuh Michelle menegang. Tangannya yang mulai bergetar
dikepalkannya kuat-kuat. Ia menelan ludahnya gusar sebelum akhirnya memutuskan
untuk membuka pintu kamar itu dengan hati-hati.
*
Sepeninggal Heejun, hati Donghae
rasanya ikut terluka. Donghae berusaha mengatur napasnya agar normal kembali,
menghalau rasa sesak yang kini menyergapnya. Ia menghela napas kemudian membawa
barang-barangnya yang ikut ditinggalkan Heejun dan mulai melanjutkan
perjalanannya yang cukup panjang.
Di halte, ia duduk termenung
dengan pikirannya yang melayang entah kemana. Ia seperti tersesat dan hilang
dalam dunianya sendiri. Beberapa bus yang akan mengantarkannya telah melintas
tanpa ia menghiraukannya. Terbersit dalam benaknya bahwa ia sudah bosan hidup.
Ia lelah jika terus dikasihani dan merepotkan orang lain. Tanpa keluarga, hidup
seorang diri jika saja nyonya Hong yang baik hati itu tidak datang dan menolongnya.
Ia berpikir akan lebih baik jika ia mati saja.
Ia masih duduk dan menunggu
meskipun gelap malam semakin pekat. Setelah kembali tersadar dari lamunannya
dan merasa bahwa tidak ada orang lain yang juga duduk di halte, ia segera
bangkit dan memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke panti.
*
Perasaan Michelle hancur
berkeping-keping, berantakan, seperti pecahan beling yang tidak dapat disatukan
kembali. Semua untaian mimpi Michelle bersama pria yang dicintainya musnah
sudah. Kyuhyun mengkhianatinya.
(Flashback)
Di dorong rasa ingin tahunya yang besar, Michelle membuka kenop pintu
kamar Kyuhyun dengan hati-hati. Di sana, ia mendapati pemandangan yang sungguh
tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekasihnya yang sudah ia cintai selama 2
tahun itu terbukti mengkhianatinya. Di depan matanya, ia melihat dengan jelas.
Kyuhyun tengah bermesraan dan berciuman dengan wanita lain. Hatinya semakin
tersayat ketika pandangannya dan Kyuhyun bertemu, dan pria itu tetap tidak
mengacuhkannya, justru makin mempererat rengkuhannya pada wanita asing itu.
Mulut Michelle menganga tanpa sanggup berucap apapun. Airmatanya jatuh dengan
sendirinya, seiring gemuruh menyakitkan dalam dadanya dan deru napasnya yang
tersendat. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya lemas dan bergetar, seakan ia bisa
limbung kapan saja. Dengan langkah yang sangat berat, ia berusaha berbalik dan
pergi dari apartemen jahanam itu sejauh mungkin. Ia sendiri kehabisan akal,
mengapa Kyuhyun tega melakukan itu padanya. Baru tadi pagi ia bisa merasakan
kembali rengkuhan Kyuhyun yang posesif dan ciuman Kyuhyun yang hangat, dan di
hari yang sama di malam harinya, di tempat yang sama, bahkan di ranjang yang
sama, Kyuhyun dengan tega melakukannya dengan wanita lain.
Michelle yang berhasil memimpin
dirinya keluar dari apartemen itu langsung melesak ke dalam mobilnya. Dengan
emosi yang masih menggebu, ia mengemudikan mobilnya dengan sembarangan. Entah
sudah berapa kali ia hampir menabrak trotoar karena laju mobilnya yang terlalu
menjorok ke kiri ataupun mobil lainnya karena kecepatan mobilnya yang di atas
rata-rata. Dengan pikirannya yang masih begitu keruh, ia tidak memperhatikan
jalan sekelilingnya dengan baik. Banyak kendaraan lainnya yang membunyikan
klaksonnya membabi-buta hanya karena tidak nyaman dengan cara mengemudi
Michelle.
Sambil terus menangis dan
menggumam tak jelas, ia menginjak pedal rem-nya dalam-dalam saat tiba-tiba
seseorang dengan seenaknya menyebrang jalan dan mengacaukan laju mobilnya. Hal
itu menimbulkan bunyi decitan yang cukup memekakkan telinga hingga mengejutkan
banyak pejalan kaki lainnya. Michelle tersadar dari alam pikirannya dan segera
memperhatikan seseorang yang sudah terjatuh di depan mobilnya. Michelle panik.
Tangannya semakin bergetar hebat dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pikirannya terlalu kalut untuk berurusan dengan orang lain saat itu.
Kepanikannya bertambah ketika
beberapa pejalan kaki terlihat marah dan mendekati mobil Michelle. Mereka
memukul kaca mobilnya beberapa kali, memaksa Michelle untuk keluar dan
bertanggungjawab. Michelle tidak mengindahkan permintaan itu. Ia justru
mencengkeram kuat kemudi mobilnya dan mulai menginjak pedal gas dalam setelah
sebelumnya memasukkan persneling. Michelle melarikan diri, meskipun terbersit
rasa bersalah dalam benaknya. Ia terpaksa melakukan itu. Dari dalam mobilnya,
ia memperhatikan orang yang terjatuh tadi melalui kaca spionnya. Ia terkejut
saat tahu bahwa seseorang itu adalah pria yang buta.
.
*
Donghae telah sampai ke panti
tempat tinggalnya. Nyonya Hong yang berniat menyambut kepulangannya begitu
terkejut saat tahu bahwa putra asuhnya pulang bersama beberapa orang tak
dikenal.
“D-Donghae-a! Gwenchana? Apa yang
terjadi, sayang?” tanya nyonya Hong begitu panik.
“Jwosonghamnida. Kami hanya mengantarkannya saja. Tadi tidak sengaja
kami melihatnya terjatuh di jalan dan hampir tertabrak mobil saat menyebrang,”
terang salah seorang dari beberapa orang yang datang bersama Donghae. Nyonya
Hong membekap mulutnya tak percaya.
“G-Gamsahamnida. Jeongmal
gamsahamnida karena sudah menolong Donghae kami. Masuklah untuk minum atau
sekedar berisitirahat sebentar,” ujar nyonya Hong setelah meraih lengan Donghae
untuk membantunya masuk ke rumah.
“Anieyo, ahjummoni. Kami harus segera pergi,” ujar seorang lain dari
beberapa orang itu.
“Arasseo. Berhati-hatilah, sekali lagi kuucapkan terima kasih,”
setelah itu nyonya Hong dan Donghae masuk ke dalam rumah.
Donghae masih terdiam sejak
kedatangannya. Pertanyaan nyonya Hong tidak ada satupun yang dihiraukannya
hingga membuat wanita paruh baya itu mulai lelah dan mendesah pelan.
“Bukankah aku ini merepotkan?
Untuk apa eommonim masih mau
menampung orang tak berguna sepertiku ini?” Donghae membuka suara dengan ucapannya
yang semakin tak jelas. Nyonya Hong membulatkan matanya tak percaya bahwa
Donghae yang selama ini dewasa dan tegar berubah menjadi seorang pesimis yang
menyedihkan.
PLAK!
Tanpa sadar nyonya Hong
melayangkan tangannya untuk menampar putra asuh kesayangannya itu.
“Jangan pernah bicara seperti itu
lagi. Aku tahu aku bukan ibu kandungmu, tapi hargai perasaanku yang sudah
menganggapmu seperti anak kandungku sendiri. Bukan hanya aku, bahkan
adik-adikmu di panti, semuanya menyayangimu dan menganggapmu keluarga. Apa kau
tak pernah memikirkannya?! Berhenti bersikap egois, Hae-a. Kau berharga bagi kami,” ucap nyonya Hong dengan mata
berkaca-kaca. Ia mendekati Donghae yang mulai menitikkan airmatanya dalam diam,
dan memeluk pemuda itu penuh kasih sayang. “Kau itu istimewa, Hae-a. Aku tidak akan membiarkan siapapun
menyakitimu, percayalah,”
*
“Hentikan, Michelle. Yang kau
lakukan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Sebenarnya ada apa? Katakan
padaku,” Seolji yang masih setia menemani sahabatnya itu mulai merasa jengah.
“Kyuhyun.. Kyuhyun..—“ Michelle
terus menggumamkan nama pria itu sambil terisak.
“Kenapa dengan Kyuhyun?” tanya
Seolji semakin tak sabar.
Michelle berusaha meredakan
isakannya setelah sebelumnya menandaskan segelas Martell dalam sekali teguk, “Kyuhyun—ia mengkhianatiku,” lanjutnya
dengan suara lirih menyakitkan.
“Mwo? Apa yang ia lakukan padamu, eoh? Aku akan membunuhnya malam
ini juga!” seru Seolji tak terima dan menggoyang-goyangkan bahu Michelle,
menuntut penjelasan lebih.
Bukannya menjelaskan kronologi
permasalahan, Michelle justru menangis sejadinya karena tak kuasa menahan rasa
sakit jika harus mengingat-ingat kejadian itu. Seolji yang melihatnya merasa
iba dan sangat sedih, “Gwenchana..
Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik. Ini, minumlah yang banyak
sampai kau bisa lupakan semuanya termasuk pria brengsek itu,” ujar Seolji seraya
menyodorkan segelas penuh berisi cocktail
dan mengusap punggung Michelle untuk menenangkannya.
*
Beberapa hari berlalu. Michelle
berusaha untuk melupakan segala hal tentang Kyuhyun, bahkan membuang jauh rasa
cintanya pada pria brengsek itu. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk
pergi ke pub bersama Seolji dan
teman-temannya yang lain. Ia hanya ingin mencari ketenangan dan hiburan. Hanya
itu yang bisa membuatnya lebih baik dan membantunya untuk bertahan. Ia terus
berpesta hingga tak kenal waktu.
Hingga suatu hari, sepulangnya
dari pub, ia yang merasa dunianya
begitu berputar langsung menghambur ke dalam apartemennya dan menuju kamar
mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Ia tahu, ia sudah minum terlalu banyak
hingga tidak memedulikan kesehatannya. Ia merasakan perutnya yang kian melilit
tak tertahankan. Ia menjerit, mengerang, menyalahkan cara hidupnya yang begitu
sia-sia. Ia menangis sejadinya, tanpa seorangpun yang mendengar. Hatinya
semakin ngilu jika ia teringat tentang kedua orangtuanya yang sudah begitu
tulus memperhatikannya dan apa yang ia lakukan sebagai balasannya?
“Kyu.. Kau menghancurkanku..”
ucap Michelle lirih, setelah sebelumnya ia menenggak beberapa pil penenang.
Michelle begitu tertekan dan frustrasi setelah Kyuhyun melukainya.
*
Keesokan harinya, Michelle
menyempatkan dirinya pergi ke sebuah minimarket untuk membeli sesuatu –sebuah alat
tes kehamilan. Mungkin pikirannya sudah terlalu jauh, tapi ia tak bisa
menundanya lagi semenjak dirasakannya berbagai keanehan pada tubuhnya. Ia hanya
berusaha memastikannya sendiri sebelum orang lain yang mengetahuinya.
Saat ia baru saja keluar dari minimarket,
ia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang hingga alat tes kehamilan yang
baru saja ia beli harus terjatuh.
“Mianhamnida, aku tidak berhati-hati. Jeongmal mianhamnida,” seru orang itu berulang kali.
“Ah, gwenchanayo. Aku yang salah,” balas Michelle dan berniat untuk
segera pergi. Michelle yang begitu terkejut saat menyadari alat tes
kehamilannya terjatuh, langsung memungutnya dengan cepat, berharap pria di
hadapannya itu tidak melihatnya. Namun pemikirannya itu sirna seketika, saat
dilihatnya tatapan pria itu yang lurus jauh ke depan tanpa titik fokus yang
jelas. Pria itu kemudian membungkuk untuk memungut sesuatu yang ternyata adalah
sebuah tongkat kayu yang panjang.
Michelle tercekat. Ia merasa
tersentuh dengan pemandangan di hadapannya saat itu. Sekelebat ingatan
tiba-tiba muncul dalam benaknya mengenai seorang pemuda buta yang pernah ia
temui sebelumnya. Ya, pemuda buta itu, adalah pemuda yang sama yang hampir ia
tabrak beberapa waktu yang lalu. Michelle memperhatikan pemuda itu sejenak sebelum
benar-benar melanjutkan langkahnya untuk pergi. Pemuda itu tampan, dengan sorot
matanya yang teduh. Sayang sekali karena ia harus buta. Pemuda yang malang,
pikirnya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Perasaan tak
biasa, yang membuat keingintahuannya semakin bertambah.
Michelle sudah duduk kembali di
balik kemudi mobilnya, saat ia melihat pemuda buta itu berjalan dengan bantuan
tongkatnya. Michelle sempat ikut berjengit dari dalam mobilnya, saat pemuda itu
hampir jatuh karena tersandung atau bahkan tertabrak pejalan lain. Ia sendiri
tidak tahu mengapa ia harus sebegitu peduli pada pemuda itu. Ia bahkan tak
mengenal pemuda itu. Tapi hati kecilnya terus menuntunnya untuk mencari-tahu.
Michelle menyalakan mesin mobilnya. Dengan pelan dan hati-hati, ia mengikuti
pemuda itu kemanapun pemuda itu pergi, sekaligus mengawasinya jika sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi pada pemuda itu.
*
Michelle menangis dalam diam.
Matanya masih menatap lurus pada alat tes kehamilan yang tengah digenggamnya.
Positif. Michelle benar-benar kehabisan akal. Ia tidak tahu harus bagaimana
lagi jika orangtuanya sampai tahu tentang kehamilannya tersebut. Dengan tangan
gemetar, tubuhnya mulai merosot dan terduduk di lantai kamar mandi
apartemennya. Hidupnya hancur, masa depannya sudah hilang. Ia hina dan kotor.
Mungkin inilah hukuman yang harus ia terima atas semua sikap hedonisnya selama
ini.
Ia berusaha untuk bersikap biasa
di hadapan teman-temannya agar jangan sampai mereka tahu mengenai rahasia
kehamilannya. Sepulangnya dari kuliah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi
sebuah gereja yang tidak jauh dari kampusnya. Penyesalan selalu datang
terlambat bukan? Bahkan sudah sangat terlambat baginya untuk menyesal. Waktu
tak’kan pernah bisa berjalan mundur.
Sesampainya di gereja, ia
berjalan gontai menuju salah satu bangku yang ada di dalamnya. Dengan hati yang
sudah tidak berbentuk, ia berlutut di hadapan salib besar di balik mimbar. Ia
berdoa sambil mulai terisak. Di sela doanya itu, ia dikejutkan oleh bunyi sesuatu
yang datang mendekat.
Bunyi hentakan tongkat kayu yang beradu
dengan permukaan lantai membuat Michelle harus menghentikan aktivitasnya dan
menoleh untuk memastikan siapa yang datang. Michelle membulatkan matanya
terkejut saat tahu siapa yang baru saja datang. Ia menyeka airmatanya cepat dan
kembali memperhatikan pemuda itu, yang kini telah berdiri di sampingnya dengan
tatapannya yang masih lurus ke depan. Tak lama setelah itu, pemuda itu
mengambil posisi tepat di sampingnya, meletakkan tongkatnya, kemudian ikut
berlutut dan memejamkan matanya untuk mulai berdoa. Michelle terus
memperhatikannya tanpa berkedip. Untuk kesekian kalinya, ia dipertemukan
kembali dengan pemuda itu.
“Jamkanman-yo,” seru Michelle, saat pemuda itu mulai berdiri untuk
beranjak pergi. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara –ke arah
Michelle.
Michelle menelan ludahnya gugup,
saat dilihatnya wajah tampan tanpa dosa milik pemuda itu, telah berhadapan
dengannya. “Ne? Apa Anda memanggil
saya?” tanya pemuda itu.
“Mianhaeyo,” ucap Michelle lagi yang membuat kening pemuda itu
berkerut tak mengerti.
“Ne?” tanya pemuda itu yang adalah Donghae.
“Mianhae, karena aku hampir menabrakmu waktu itu. Aku tidak
bermaksud melarikan diri saat itu, hanya saja keadaan yang begitu sulit bagiku sehingga
aku—“
“Gwenchana,” potong Donghae cepat sambil tersenyum. “Kau sudah
meminta maaf, itu sudah cukup,” lanjutnya lagi, sebelum akhirnya kembali
menggerakkan tongkat kayunya.
“Bagaimana bisa kau memaafkanku
semudah itu? Tidakkah kau merasa kesal padaku barang sedikit saja?” timpal
Michelle yang membuat Donghae menghentikan langkahnya sekali lagi.
“Kenapa harus begitu?” tanya
Donghae.
“Ehm—Maksudku—Jika seseorang
menyakitimu dan mengecewakanmu, apakah kau akan memaafkannya dengan mudah
setelah orang itu hanya mengucap kata maaf?” Keheningan sempat terjadi seiring
Donghae yang mengernyit berpikir, sebelum akhirnya Donghae kembali membalas,
“Apa kau sedang terluka?” Michelle terdiam. “Meskipun aku tidak bisa melihat
bagaimana ekspresimu saat ini, aku bisa merasakannya. Dari pertanyaanmu itu,
seseorang pasti sudah melukaimu. Aku benar ‘kan?” lanjut Donghae lagi sambil
tersenyum.
Jantung Michelle berdebar tak
biasa saat Donghae menghadapkan wajahnya dengan senyum cerah yang begitu tulus.
Ucapan Donghae membuat Michelle bungkam dan kebingungan mencari kata-kata untuk
menjawabnya. Sungguh tepat sasaran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa menebak
hatinya? Saat itu juga, muncul sebuah kesimpulan dalam benak Michelle, bahwa
pemuda itu begitu istimewa..
*TBC*
Min bgus bgt jalan cerita.a ....
BalasHapusDi tnggu part slnjut.a ^^