Jumat, 15 November 2013

COMPASS - Part 1


COMPASS
(Part 1)

By : Kxanoppa | Tags : Lee Donghae, Cho Kyuhyun, Michelle Wang (OC), Han Seolji (OC), Yoon Heejun (OC), nyonya Hong (OC) | Genre : Life, Romance, Tragedy, Angst | Length : Chaptered | Rating : PG-17 

A/N : Paragraf yang dicetak miring dalam storyline menandakan flashback. Beware of any typos. Thanks to tifftania for the amazing poster!

Recommended Song :
*
Summary :
“Ketika hingar bingar kehidupan kota, dengan segala fasilitas berkelas dan gaya hidup modern yang mewah belum memenuhi kepuasan batinmu.. Ketika takdir mempertemukanmu dengan seseorang yang tak pernah kau bayangkan akan hadir dalam hidupmu dan membawa pengaruh yang mampu merubah hidupmu, secara total.

—Bagaikan sebuah kompas, kau membuat hidupku terarah—
(Michelle Wang)“ 
*

Michelle Wang, seorang gadis 21 tahun yang memiliki segalanya. Kesempurnaan fisik, kekayaan, perhatian, dan cinta. Hidup di tengah-tengah keluarga yang utuh dan harmonis. Sejak kecil, Michelle selalu mendapat fasilitas nomor 1 dan sudah bisa mengecap indahnya hidup berkecukupan, tanpa ia harus bersusah payah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Sejak memasuki kehidupan perkuliahannya, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen di dekat kampusnya dengan sebuah kendaraan berupa mobil, yang diberikan khusus oleh orangtuanya untuk mempermudah aktivitas putri kesayangan mereka itu. Uang saku yang hampir mencapai nominal 10 juta per bulan, masih belum cukup untuk membuat Michelle sepenuhnya mengerti tentang apa arti kata menabung. Ia justru kebingungan mencari cara, bagaimana bisa menggunakan uang sakunya itu dengan maksimal.
You Only Live Once, adalah motto yang hingga kini dipegang teguh oleh Michelle. Dalam sudut pandangnya, motto itu menuntunnya untuk bisa menikmati hidup dengan melakukan apapun yang ia sukai. Apapun. Terlepas dari konotasi negatif yang melekat dengan konteks itu. Kehidupan hedonis telah menguasainya. Ia tidak mempersalahkan pergaulannya, termasuk teman-temannya yang terlibat di dalamnya. Tidak ada istilah lingkungan yang buruk. Karena hidup adalah sebuah pilihan, dan Michelle telah menetapkan pilihannya sendiri.
Terkadang, rasa bersalah dan penyesalan itu ada. Namun Michelle berusaha untuk membuangnya jauh-jauh. Sekali lagi, motto andalannya itu yang terus memotivasinya.
“Sampai kapan kau akan terus minum? Kau sudah minum terlalu banyak, Michelle! Ini bahkan hampir jam 4 pagi dan kau masih asik di sini!” seru salah seorang temannya yang mencoba memperingatkannya.
Ya, Seolji-a! Kenapa sih, kau ini cerewet sekali? Aish.. Mengganggu kesenanganku saja,” balas Michelle dengan nada dan intonasi naik-turun, seperti layaknya orang yang sedang mabuk.
Seolji meraih botol minuman keras yang nyaris kosong itu dari hadapan Michelle, berniat mencegah gadis itu untuk meminumnya lagi. “Kau ‘kan harus menyetir! Bagaimana mungkin kau menyetir dalam keadaan seperti ini, eoh?” seru Seolji untuk kedua-kalinya. Michelle menjatuhkan kepalanya yang terasa berat ke atas meja. Tak dihiraukannya peringatan Seolji, dan justru menggumamkan hal-hal tak jelas. “Ya! Jangan tidur di sini, aish! Kau ini selalu merepotkan!” Tanpa pikir panjang, Seolji langsung merogoh tas Michelle untuk mengambil ponsel gadis itu dan menghubungi sebuah kontak.
Ya, Cho Kyuhyun! Tolong urus kekasihmu yang tukang mabuk ini. Aku harus segera kembali sebelum orangtuaku sampai ke rumah dan membunuhku!” tanpa mendengar jawaban dari si penerima telpon, Seolji langsung memutuskan sambungan itu secara sepihak. “Ya, kau tunggu di sini dan jangan kemana-mana. Sebentar lagi Kyuhyun akan menjemputmu, ara? Aku pergi!” pekik Seolji sebelum akhirnya menghambur keluar pub dengan tergesa.
*
Seorang pria muda baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia bangkit dari ranjangnya dengan hati-hati. Sedikit tertatih ia melangkahkan kakinya, sambil tangannya meraba permukaan dinding mencari sesuatu yang sangat dibutuhkannya untuk membuatnya berjalan dengan seimbang. Sebuah tongkat kayu panjang berwarna coklat gelap, yang ia sandarkan di dinding kamarnya.

Pemuda itu segera melesak ke luar kamar dengan bantuan tongkatnya, dan tertegun ketika sebuah suara lembut menyambutnya.
“Donghae-a, kau sudah bangun?” tanya wanita paruh baya itu lembut. Donghae menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dan tersenyum.
Ne, eommonim,” balas Donghae sopan kepada nyonya Hong, ibu angkatnya yang telah merawatnya dengan sangat baik, sejak ia tinggal di panti.
“Sebelum pergi ke pasar, sarapanlah dulu. Aku baru saja selesai membuatkan sarapan kesukaanmu. Kemarilah,” ajak nyonya Hong ramah, sambil menggeret salah satu kursi di meja makan untuk Lee Donghae, anak asuhnya.
“Ah, ne, eommonim. Gomapsumnida,” ujar Donghae dengan senyuman lebar. Dengan hati-hati Donghae menggerakkan tongkatnya untuk menuntunnya berjalan, dan menempati bangku yang telah disediakan nyonya Hong untuknya.
*
Michelle melenguh pelan, merasakan hangat matahari yang mulai menyeruak masuk dari celah jendela. Ia membuka matanya susah payah dan menyipitkannya kembali saat silau cahaya matahari memaksa masuk dalam penglihatannya.
Niatnya untuk segera bangkit dari tidurnya terpaksa ia urungkan saat ia sadar sebuah tangan kokoh tengah merengkuhnya posesif. Michelle semakin tak berkutik ketika seseorang itu mulai menciumi pundak dan lehernya.
“Selamat siang, sayang,” mendengar suara berat seorang pria yang sangat khas itu, Michelle membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.
“Kyu?” Michelle membelalakkan matanya. “Beraninya kau mencuri kesempatan—“ Ia berniat melanjutkan kalimatnya jika saja Kyuhyun tidak membungkamnya dengan sebuah ciuman. Michelle berusaha melepaskan tautan itu, namun Kyuhyun terus merengkuhnya hingga membuat Michelle menyerah dan terkekeh di sela ciuman mereka. Cukup lama mereka terhanyut dalam dunia mereka sendiri, hingga akhirnya Michelle kembali tersadar dan mendorong kuat tubuh Kyuhyun.
“Hentikan, Kyu! Jam berapa ini? Aku baru ingat kalau hari ini ada tes! Aigo!” pekik Michelle, kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Hanya dengan berbalutkan selimut, ia melesak menuju kamar mandi untuk bisa segera bersiap dan pergi ke kampus. 
Setelah menghabiskan beberapa menit untuk bersiap, Michelle berniat untuk segera pergi meninggalkan apartemen Kyuhyun.
“Perlu ku antar?” tawar Kyuhyun yang sudah duduk di pinggir ranjang dengan hanya mengenakan celana jeans-nya.
Ani. Gwenchana. Selesai kuliah, aku akan menghubungimu. Aku pergi!” serunya kemudian beranjak pergi, setelah sebelumnya mengecup singkat pipi Kyuhyun.
Efek bir hitam yang ia minum semalam masih bisa dirasakannya. Kepalanya masih terasa pening, di tambah mual yang membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perutnya. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia mulai mengemudikan mobilnya.
*
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa hari mulai gelap kembali. Setelah seharian bekerja di pasar, Donghae mulai membereskan dagangannya satu per satu dan bersiap-siap untuk segera kembali ke panti.
“Kau sudah mau pulang, oppa? Biar aku bantu membereskan dan membawakan barang-barangmu,” tawar seorang gadis kenalan Donghae, yang juga bekerja di pasar itu.
“Ah, ne, Heejun-a. Anieyo. Biar aku sendiri saja,” tolaknya halus, dengan senyumnya yang selalu menawan bagi Heejun. Mendengar penolakan itu, Heejun-pun menurut dan hanya bisa mengawasi kegiatan Donghae dalam diam, hingga tiba-tiba seekor anjing muncul dan membuat semua sisa dagangan Donghae yang telah tertata rapi jadi berantakan.
“Donghae oppa, gwenchana?” tanya Heejun cemas, saat dilihatnya ada luka goresan di lengan Donghae.
Gwenchana—“
“Tanganmu terluka, oppa. Sini, biarkan aku membantumu. Aku tidak terima penolakan lagi,” potong Heejun cepat, kemudian membantu Donghae merapikan dan membawakan barang-barangnya. Kali ini Donghae benar-benar tak bisa menolak.
Meskipun wajahnya selalu tersenyum, tak bisa dipungkiri bahwa hati Donghae begitu hancur. Hancur saat mengetahui fakta tentang orangtuanya yang tega meninggalkannya karena ia buta. Keadaannya yang terbatas membuatnya selalu dikasihani dan ia sangat membenci itu. Selama ini ia selalu berusaha untuk tidak membuat siapapun khawatir dan bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri, seperti orang normal lainnya.
Mianhae,” ucap Donghae di sela langkah mereka untuk pulang. Heejun menghentikan langkahnya karena tertegun dan menatap Donghae penuh tanya, meski ia tahu, pria itu tak bisa melihatnya.
“Kenapa meminta maaf, oppa?” tanya Heejun pada akhirnya.
Mianhae, karena aku buta dan merepotkan,” balas Donghae yang membuat Heejun begitu tersentuh.
“Apa maksud oppa? Oppa sama sekali tak merepotkan. Meskipun oppa tidak bisa melihat, aku tetap suka oppa,” tukas Heejun terbawa emosi, hingga ia sendiri tidak sadar telah mengungkapkan perasaannya. Dengan tatapannya yang menerawang lurus jauh ke depan, Donghae terdiam, menanti Heejun untuk menjelaskan maksud perkataannya.
“A-aku—Aku menyukaimu, oppa,” lanjut Heejun lagi sambil tertunduk menahan gemuruh dalam dadanya. Hening untuk beberapa saat, sebelum Donghae memutuskan untuk kembali bersuara.
“Jangan,” sergah Donghae singkat. Heejun mengangkat wajahnya dan semakin tak mengerti.
“Jangan menyukai pria sepertiku, karena aku tidak pantas untukmu,” perkataan Donghae bagaikan belati yang menghujam jantung Heejun. Begitu menyakitkan. Heejun terdiam, kehabisan kata-kata, sekaligus tak kuasa untuk kembali bersuara karena tenggorokannya yang tiba-tiba tercekat. Dalam keheningan yang menyesakkan itu, Heejun menitikkan airmatanya.
“Terserah oppa saja,” ucap Heejun cepat dengan suara yang dipaksakan, sebelum akhirnya Heejun menyerah dan meninggalkan Donghae begitu saja.
*
Michelle baru saja menyelesaikan kuliahnya sore itu. Tanpa pikir panjang, Michelle memutuskan untuk segera menemui Kyuhyun di apartemennya dan sengaja tidak menghubungi pria itu lebih dulu untuk mengejutkannya. Ia ingin tahu apa yang sedang Kyuhyun lakukan selama menunggu dirinya pulang kuliah. Sebentar saja berpisah dari pria itu, rasanya begitu menyiksa bagi Michelle. Ia terlanjur jatuh dalam pesona seorang Cho Kyuhyun, dan ia percaya bahwa Kyuhyun adalah pria terakhir yang akan menempati ruang hatinya.
Sebelum memasuki area apartemen Kyuhyun, ia menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan. Ia berencana untuk memasak dan makan malam bersama Kyuhyun.
Dengan tidak sabaran, Michelle menekan tombol angka pada elevator beberapa kali, berpikir bahwa usahanya itu dapat mempercepat laju elevator untuk sampai pada nomor lantai yang ditujunya. Setelah pintu elevator terbuka, ia melangkah setengah berlari dengan belanjaan pada kedua tangannya. Ia menekan beberapa digit password apartemen Kyuhyun yang sudah dihapalnya di luar kepala, setelah sebelumnya meletakkan kantung-kantung belanjaannya di atas lantai marmer bangunan itu.
Klik. Pintu terbuka. Michelle menyebut nama Kyuhyun beberapa kali namun tak ada tanggapan. Ruangan tengah apartemen terlihat remang dan sunyi. Apakah Kyuhyun sedang keluar? Michelle tidak ambil pusing dengan semua itu, dan meneruskan langkahnya menuju dapur, setelah sebelumnya ia menyalakan lampu di ruangan itu. Ia meletakkan semua belanjaannya di atas meja pantry dan berniat menyiapkan alat-alat masak yang dibutuhkan. Aktivitasnya langsung terhenti, saat tiba-tiba suara gaduh terdengar olehnya.
“Kyu?” Michelle memastikan sekali lagi apakah suara gaduh itu berasal dari kekasihnya. Namun lagi-lagi tak ada tanggapan. Suara gaduh itu lenyap. Michelle baru saja akan melanjutkan aktivitasnya untuk memasukkan bahan-bahan makanan yang tadi dibelinya ke dalam wajan, jika saja suara-suara asing itu tidak mengganggu indera pendengarannya lagi. Seakan mencelos, jantung Michelle berdebar tak biasa saat didengarnya suara seperti tawa seorang wanita. Dengan susah payah ia menepis segala pikiran jeleknya. Tidak mungkin Kyuhyun mengkhianatinya. Perlahan, ia membiarkan rasa penasarannya menuntunnya mendekati sumber suara. Tepat di depan kamar Kyuhyun. Ia mendekatkan telinganya pada pintu kamar itu, dan suara gaduh itu terdengar semakin jelas. Tubuh Michelle menegang. Tangannya yang mulai bergetar dikepalkannya kuat-kuat. Ia menelan ludahnya gusar sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu kamar itu dengan hati-hati.
*
Sepeninggal Heejun, hati Donghae rasanya ikut terluka. Donghae berusaha mengatur napasnya agar normal kembali, menghalau rasa sesak yang kini menyergapnya. Ia menghela napas kemudian membawa barang-barangnya yang ikut ditinggalkan Heejun dan mulai melanjutkan perjalanannya yang cukup panjang.
Di halte, ia duduk termenung dengan pikirannya yang melayang entah kemana. Ia seperti tersesat dan hilang dalam dunianya sendiri. Beberapa bus yang akan mengantarkannya telah melintas tanpa ia menghiraukannya. Terbersit dalam benaknya bahwa ia sudah bosan hidup. Ia lelah jika terus dikasihani dan merepotkan orang lain. Tanpa keluarga, hidup seorang diri jika saja nyonya Hong yang baik hati itu tidak datang dan menolongnya. Ia berpikir akan lebih baik jika ia mati saja. 
Ia masih duduk dan menunggu meskipun gelap malam semakin pekat. Setelah kembali tersadar dari lamunannya dan merasa bahwa tidak ada orang lain yang juga duduk di halte, ia segera bangkit dan memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke panti.
*
Perasaan Michelle hancur berkeping-keping, berantakan, seperti pecahan beling yang tidak dapat disatukan kembali. Semua untaian mimpi Michelle bersama pria yang dicintainya musnah sudah. Kyuhyun mengkhianatinya.
(Flashback)
Di dorong rasa ingin tahunya yang besar, Michelle membuka kenop pintu kamar Kyuhyun dengan hati-hati. Di sana, ia mendapati pemandangan yang sungguh tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekasihnya yang sudah ia cintai selama 2 tahun itu terbukti mengkhianatinya. Di depan matanya, ia melihat dengan jelas. Kyuhyun tengah bermesraan dan berciuman dengan wanita lain. Hatinya semakin tersayat ketika pandangannya dan Kyuhyun bertemu, dan pria itu tetap tidak mengacuhkannya, justru makin mempererat rengkuhannya pada wanita asing itu. Mulut Michelle menganga tanpa sanggup berucap apapun. Airmatanya jatuh dengan sendirinya, seiring gemuruh menyakitkan dalam dadanya dan deru napasnya yang tersendat. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya lemas dan bergetar, seakan ia bisa limbung kapan saja. Dengan langkah yang sangat berat, ia berusaha berbalik dan pergi dari apartemen jahanam itu sejauh mungkin. Ia sendiri kehabisan akal, mengapa Kyuhyun tega melakukan itu padanya. Baru tadi pagi ia bisa merasakan kembali rengkuhan Kyuhyun yang posesif dan ciuman Kyuhyun yang hangat, dan di hari yang sama di malam harinya, di tempat yang sama, bahkan di ranjang yang sama, Kyuhyun dengan tega melakukannya dengan wanita lain.
Michelle yang berhasil memimpin dirinya keluar dari apartemen itu langsung melesak ke dalam mobilnya. Dengan emosi yang masih menggebu, ia mengemudikan mobilnya dengan sembarangan. Entah sudah berapa kali ia hampir menabrak trotoar karena laju mobilnya yang terlalu menjorok ke kiri ataupun mobil lainnya karena kecepatan mobilnya yang di atas rata-rata. Dengan pikirannya yang masih begitu keruh, ia tidak memperhatikan jalan sekelilingnya dengan baik. Banyak kendaraan lainnya yang membunyikan klaksonnya membabi-buta hanya karena tidak nyaman dengan cara mengemudi Michelle.
Sambil terus menangis dan menggumam tak jelas, ia menginjak pedal rem-nya dalam-dalam saat tiba-tiba seseorang dengan seenaknya menyebrang jalan dan mengacaukan laju mobilnya. Hal itu menimbulkan bunyi decitan yang cukup memekakkan telinga hingga mengejutkan banyak pejalan kaki lainnya. Michelle tersadar dari alam pikirannya dan segera memperhatikan seseorang yang sudah terjatuh di depan mobilnya. Michelle panik. Tangannya semakin bergetar hebat dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pikirannya terlalu kalut untuk berurusan dengan orang lain saat itu.
Kepanikannya bertambah ketika beberapa pejalan kaki terlihat marah dan mendekati mobil Michelle. Mereka memukul kaca mobilnya beberapa kali, memaksa Michelle untuk keluar dan bertanggungjawab. Michelle tidak mengindahkan permintaan itu. Ia justru mencengkeram kuat kemudi mobilnya dan mulai menginjak pedal gas dalam setelah sebelumnya memasukkan persneling. Michelle melarikan diri, meskipun terbersit rasa bersalah dalam benaknya. Ia terpaksa melakukan itu. Dari dalam mobilnya, ia memperhatikan orang yang terjatuh tadi melalui kaca spionnya. Ia terkejut saat tahu bahwa seseorang itu adalah pria yang buta.
.
*
Donghae telah sampai ke panti tempat tinggalnya. Nyonya Hong yang berniat menyambut kepulangannya begitu terkejut saat tahu bahwa putra asuhnya pulang bersama beberapa orang tak dikenal.
“D-Donghae-a! Gwenchana? Apa yang terjadi, sayang?” tanya nyonya Hong begitu panik.
Jwosonghamnida. Kami hanya mengantarkannya saja. Tadi tidak sengaja kami melihatnya terjatuh di jalan dan hampir tertabrak mobil saat menyebrang,” terang salah seorang dari beberapa orang yang datang bersama Donghae. Nyonya Hong membekap mulutnya tak percaya.
G-Gamsahamnida. Jeongmal gamsahamnida karena sudah menolong Donghae kami. Masuklah untuk minum atau sekedar berisitirahat sebentar,” ujar nyonya Hong setelah meraih lengan Donghae untuk membantunya masuk ke rumah.
Anieyo, ahjummoni. Kami harus segera pergi,” ujar seorang lain dari beberapa orang itu.
Arasseo. Berhati-hatilah, sekali lagi kuucapkan terima kasih,” setelah itu nyonya Hong dan Donghae masuk ke dalam rumah.
Donghae masih terdiam sejak kedatangannya. Pertanyaan nyonya Hong tidak ada satupun yang dihiraukannya hingga membuat wanita paruh baya itu mulai lelah dan mendesah pelan.
“Bukankah aku ini merepotkan? Untuk apa eommonim masih mau menampung orang tak berguna sepertiku ini?” Donghae membuka suara dengan ucapannya yang semakin tak jelas. Nyonya Hong membulatkan matanya tak percaya bahwa Donghae yang selama ini dewasa dan tegar berubah menjadi seorang pesimis yang menyedihkan.
PLAK!
Tanpa sadar nyonya Hong melayangkan tangannya untuk menampar putra asuh kesayangannya itu.
“Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku tahu aku bukan ibu kandungmu, tapi hargai perasaanku yang sudah menganggapmu seperti anak kandungku sendiri. Bukan hanya aku, bahkan adik-adikmu di panti, semuanya menyayangimu dan menganggapmu keluarga. Apa kau tak pernah memikirkannya?! Berhenti bersikap egois, Hae-a. Kau berharga bagi kami,” ucap nyonya Hong dengan mata berkaca-kaca. Ia mendekati Donghae yang mulai menitikkan airmatanya dalam diam, dan memeluk pemuda itu penuh kasih sayang. “Kau itu istimewa, Hae-a. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu, percayalah,”
*
“Hentikan, Michelle. Yang kau lakukan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Sebenarnya ada apa? Katakan padaku,” Seolji yang masih setia menemani sahabatnya itu mulai merasa jengah.
“Kyuhyun.. Kyuhyun..—“ Michelle terus menggumamkan nama pria itu sambil terisak.
“Kenapa dengan Kyuhyun?” tanya Seolji semakin tak sabar.
Michelle berusaha meredakan isakannya setelah sebelumnya menandaskan segelas Martell dalam sekali teguk, “Kyuhyun—ia mengkhianatiku,” lanjutnya dengan suara lirih menyakitkan.
Mwo? Apa yang ia lakukan padamu, eoh? Aku akan membunuhnya malam ini juga!” seru Seolji tak terima dan menggoyang-goyangkan bahu Michelle, menuntut penjelasan lebih.
Bukannya menjelaskan kronologi permasalahan, Michelle justru menangis sejadinya karena tak kuasa menahan rasa sakit jika harus mengingat-ingat kejadian itu. Seolji yang melihatnya merasa iba dan sangat sedih, “Gwenchana.. Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik. Ini, minumlah yang banyak sampai kau bisa lupakan semuanya termasuk pria brengsek itu,” ujar Seolji seraya menyodorkan segelas penuh berisi cocktail dan mengusap punggung Michelle untuk menenangkannya.
*
Beberapa hari berlalu. Michelle berusaha untuk melupakan segala hal tentang Kyuhyun, bahkan membuang jauh rasa cintanya pada pria brengsek itu. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk pergi ke pub bersama Seolji dan teman-temannya yang lain. Ia hanya ingin mencari ketenangan dan hiburan. Hanya itu yang bisa membuatnya lebih baik dan membantunya untuk bertahan. Ia terus berpesta hingga tak kenal waktu.
Hingga suatu hari, sepulangnya dari pub, ia yang merasa dunianya begitu berputar langsung menghambur ke dalam apartemennya dan menuju kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Ia tahu, ia sudah minum terlalu banyak hingga tidak memedulikan kesehatannya. Ia merasakan perutnya yang kian melilit tak tertahankan. Ia menjerit, mengerang, menyalahkan cara hidupnya yang begitu sia-sia. Ia menangis sejadinya, tanpa seorangpun yang mendengar. Hatinya semakin ngilu jika ia teringat tentang kedua orangtuanya yang sudah begitu tulus memperhatikannya dan apa yang ia lakukan sebagai balasannya?
“Kyu.. Kau menghancurkanku..” ucap Michelle lirih, setelah sebelumnya ia menenggak beberapa pil penenang. Michelle begitu tertekan dan frustrasi setelah Kyuhyun melukainya.
*
Keesokan harinya, Michelle menyempatkan dirinya pergi ke sebuah minimarket untuk membeli sesuatu –sebuah alat tes kehamilan. Mungkin pikirannya sudah terlalu jauh, tapi ia tak bisa menundanya lagi semenjak dirasakannya berbagai keanehan pada tubuhnya. Ia hanya berusaha memastikannya sendiri sebelum orang lain yang mengetahuinya.
Saat ia baru saja keluar dari minimarket, ia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang hingga alat tes kehamilan yang baru saja ia beli harus terjatuh.
Mianhamnida, aku tidak berhati-hati. Jeongmal mianhamnida,” seru orang itu berulang kali.
“Ah, gwenchanayo. Aku yang salah,” balas Michelle dan berniat untuk segera pergi. Michelle yang begitu terkejut saat menyadari alat tes kehamilannya terjatuh, langsung memungutnya dengan cepat, berharap pria di hadapannya itu tidak melihatnya. Namun pemikirannya itu sirna seketika, saat dilihatnya tatapan pria itu yang lurus jauh ke depan tanpa titik fokus yang jelas. Pria itu kemudian membungkuk untuk memungut sesuatu yang ternyata adalah sebuah tongkat kayu yang panjang.
Michelle tercekat. Ia merasa tersentuh dengan pemandangan di hadapannya saat itu. Sekelebat ingatan tiba-tiba muncul dalam benaknya mengenai seorang pemuda buta yang pernah ia temui sebelumnya. Ya, pemuda buta itu, adalah pemuda yang sama yang hampir ia tabrak beberapa waktu yang lalu. Michelle memperhatikan pemuda itu sejenak sebelum benar-benar melanjutkan langkahnya untuk pergi. Pemuda itu tampan, dengan sorot matanya yang teduh. Sayang sekali karena ia harus buta. Pemuda yang malang, pikirnya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Perasaan tak biasa, yang membuat keingintahuannya semakin bertambah.
Michelle sudah duduk kembali di balik kemudi mobilnya, saat ia melihat pemuda buta itu berjalan dengan bantuan tongkatnya. Michelle sempat ikut berjengit dari dalam mobilnya, saat pemuda itu hampir jatuh karena tersandung atau bahkan tertabrak pejalan lain. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia harus sebegitu peduli pada pemuda itu. Ia bahkan tak mengenal pemuda itu. Tapi hati kecilnya terus menuntunnya untuk mencari-tahu. Michelle menyalakan mesin mobilnya. Dengan pelan dan hati-hati, ia mengikuti pemuda itu kemanapun pemuda itu pergi, sekaligus mengawasinya jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada pemuda itu.
*
Michelle menangis dalam diam. Matanya masih menatap lurus pada alat tes kehamilan yang tengah digenggamnya. Positif. Michelle benar-benar kehabisan akal. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi jika orangtuanya sampai tahu tentang kehamilannya tersebut. Dengan tangan gemetar, tubuhnya mulai merosot dan terduduk di lantai kamar mandi apartemennya. Hidupnya hancur, masa depannya sudah hilang. Ia hina dan kotor. Mungkin inilah hukuman yang harus ia terima atas semua sikap hedonisnya selama ini.
Ia berusaha untuk bersikap biasa di hadapan teman-temannya agar jangan sampai mereka tahu mengenai rahasia kehamilannya. Sepulangnya dari kuliah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah gereja yang tidak jauh dari kampusnya. Penyesalan selalu datang terlambat bukan? Bahkan sudah sangat terlambat baginya untuk menyesal. Waktu tak’kan pernah bisa berjalan mundur.
Sesampainya di gereja, ia berjalan gontai menuju salah satu bangku yang ada di dalamnya. Dengan hati yang sudah tidak berbentuk, ia berlutut di hadapan salib besar di balik mimbar. Ia berdoa sambil mulai terisak. Di sela doanya itu, ia dikejutkan oleh bunyi sesuatu yang datang mendekat.
Bunyi hentakan tongkat kayu yang beradu dengan permukaan lantai membuat Michelle harus menghentikan aktivitasnya dan menoleh untuk memastikan siapa yang datang. Michelle membulatkan matanya terkejut saat tahu siapa yang baru saja datang. Ia menyeka airmatanya cepat dan kembali memperhatikan pemuda itu, yang kini telah berdiri di sampingnya dengan tatapannya yang masih lurus ke depan. Tak lama setelah itu, pemuda itu mengambil posisi tepat di sampingnya, meletakkan tongkatnya, kemudian ikut berlutut dan memejamkan matanya untuk mulai berdoa. Michelle terus memperhatikannya tanpa berkedip. Untuk kesekian kalinya, ia dipertemukan kembali dengan pemuda itu.
Jamkanman-yo,” seru Michelle, saat pemuda itu mulai berdiri untuk beranjak pergi. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara –ke arah Michelle.
Michelle menelan ludahnya gugup, saat dilihatnya wajah tampan tanpa dosa milik pemuda itu, telah berhadapan dengannya. “Ne? Apa Anda memanggil saya?” tanya pemuda itu.
Mianhaeyo,” ucap Michelle lagi yang membuat kening pemuda itu berkerut tak mengerti.
Ne?” tanya pemuda itu yang adalah Donghae.
Mianhae, karena aku hampir menabrakmu waktu itu. Aku tidak bermaksud melarikan diri saat itu, hanya saja keadaan yang begitu sulit bagiku sehingga aku—“
Gwenchana,” potong Donghae cepat sambil tersenyum. “Kau sudah meminta maaf, itu sudah cukup,” lanjutnya lagi, sebelum akhirnya kembali menggerakkan tongkat kayunya.
“Bagaimana bisa kau memaafkanku semudah itu? Tidakkah kau merasa kesal padaku barang sedikit saja?” timpal Michelle yang membuat Donghae menghentikan langkahnya sekali lagi.
“Kenapa harus begitu?” tanya Donghae.
“Ehm—Maksudku—Jika seseorang menyakitimu dan mengecewakanmu, apakah kau akan memaafkannya dengan mudah setelah orang itu hanya mengucap kata maaf?” Keheningan sempat terjadi seiring Donghae yang mengernyit berpikir, sebelum akhirnya Donghae kembali membalas, “Apa kau sedang terluka?” Michelle terdiam. “Meskipun aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresimu saat ini, aku bisa merasakannya. Dari pertanyaanmu itu, seseorang pasti sudah melukaimu. Aku benar ‘kan?” lanjut Donghae lagi sambil tersenyum.
Jantung Michelle berdebar tak biasa saat Donghae menghadapkan wajahnya dengan senyum cerah yang begitu tulus. Ucapan Donghae membuat Michelle bungkam dan kebingungan mencari kata-kata untuk menjawabnya. Sungguh tepat sasaran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa menebak hatinya? Saat itu juga, muncul sebuah kesimpulan dalam benak Michelle, bahwa pemuda itu begitu istimewa..
*TBC*


 


1 komentar: