author : kxanoppa (berty5192) | genre : romance,
family | casts : Kim Jongin - Kai
(EXO-K), Do Kyungsoo (EXO-K), Kim Junmyeon (EXO-K), Yeo Sunmi (OC), Jung Yoojin
(OC) | rating : teen/general |
length : chaptered/series
TWO HEARTS
Part 1
-New Me, or New
You?-
Di
sebuah perpustakaan universitas, seorang gadis tengah sibuk berkutat dengan
buku dihadapannya. Tak ada yang bisa mengalihkan konsentrasinya saat itu,
hingga sebuah tangan menepuk pundaknya pelan dan membuatnya menoleh.
“Sunmi-ah,”
sapa seorang gadis lain yang langsung duduk di sampingnya.
“Sebaiknya
kau pulang dan beristirahat. Ini sudah sore,” lanjut gadis itu perhatian,
begitu dilihatnya beberapa buku tebal bersampul keras yang tertumpuk di hadapan
Sunmi.
“Nan gwenchana. Kalau kau lelah, kau
pulanglah duluan. Aku masih ingin di sini sebentar lagi,” ujar Sunmi dengan
tatapan yang masih fokus pada buku dalam genggamannya. Gadis di sampingnya
hanya bisa menghela napas pasrah, hingga tiba-tiba seorang pria menghampiri
mereka.
“Yoojin-ah.
Kau tidak pulang?” tanya pria itu pada gadis di samping Sunmi. Gadis itu
menatap Sunmi dan teman prianya secara bergantian sebelum menjawab, “Ah—ne, jamkan,”
“Ne. Pergilah,” balas Sunmi sambil
tersenyum. “Junmyeon oppa, pastikan
Yoojin pulang dengan selamat. Araji?”
lanjut Sunmi, diikuti kekehan dari ketiganya.
“Arasseo! Kalau begitu kami pergi,” ujar
Junmyeon dengan senyuman cerahnya sebelum ia dan Yoojin meninggalkan Sunmi di
perpustakaan besar yang hampir kosong itu.
Tak
lama setelah kepergian Junmyeon dan Yoojin, Sunmi menyandarkan punggungnya pada
kursi dan berusaha meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Ia memijit
pelipisnya pelan sebelum menghela napas lelah. Ia memejamkan matanya sejenak
hingga akhirnya kenangan itu kembali terbersit dalam benaknya. Ia pikir
perkataan Yoojin benar. Ia harus pulang dan beristirahat. Terlalu banyak
belajar membuatnya semakin tertekan. Tapi setidaknya, kesibukan itu bisa
membantunya melupakan masa lalunya—meski sejenak—.
Sunmi
segera membereskan buku-buku di hadapannya dan berniat mengembalikannya ke
dalam rak. Ia sempat memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya,
sebelum akhirnya bergegas menuju halte agar jangan sampai ia tertinggal bus
berikutnya.
@@@@@@
Di
tempat lain, seorang pria juga tengah
sibuk berkutat dengan materi kuliahnya demi kuis yang akan diadakan di kelasnya
besok. Ia tertegun ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Hyung,” ucapnya setelah mengetahui siapa
yang mengetuk pintu kamarnya. “Gomawo,”
lanjutnya lagi sambil tersenyum saat menyadari bahwa pria di hadapannya membawa
senampan makanan untuknya.
Pria
yang menjadi lawan bicaranya hanya menatapnya datar, tanpa ekspresi. Ia
menyodorkan nampan itu dengan kasar, lalu berujar, “Berhenti memanggilku dengan
sebutan itu. Dan makanan ini—samonim (nyonya)
yang menyuruhku membawakannya,”
Pria
itu berlalu begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya.
“Kyungsoo
hyung—“ ucapnya pelan seiring dengan
punggung ‘hyung’nya yang semakin menjauh.
Ia
pun kembali masuk ke dalam kamarnya dan mulai memakan makanan itu. Ia
memakannya dengan sangat lahap. Selain kelaparan karena ia terlalu sibuk
belajar hingga melewatkan jam makan malamnya, hal itu juga dikarenakan rasa
makanan itu yang sangat enak baginya.
“Masakan
Do ahjumma memang yang paling enak,”
ungkapnya pada diri sendiri.
@@@@@@
Pria
bernama Kyungsoo itu kini berada di dapur bersama dengan ibunya yang bekerja
sebagai pelayan di kediaman keluarga kaya bermarga Lee. Kyungsoo diijinkan
untuk tinggal bersama ibunya di rumah itu dengan alasan tuan Lee tidak tega
jika Kyungsoo harus hidup sendiri, mengingat Kyungsoo sudah tidak memiliki ayah
ataupun saudara. Ya, keluarga Lee memang sangat baik meskipun mereka berasal
dari kalangan chaebol. Tuan Lee
bahkan dengan sukarela menyekolahkan Kyungsoo hingga berhasil mendapatkan
beasiswa di universitas yang sama dengan anak satu-satunya, karena
kecerdasannya. Namun itu tidak membuatnya bebas dan bersikap seenaknya. Ia
masih tahu diri untuk membantu ibunya melakukan pekerjaan seorang pelayan di
rumah itu.
“Kyungsoo-ya,
istirahatlah. Biar eomma yang
melakukannya. Bukankah besok kau ada jadwal kuliah?” tanya ibunya yang tak tega
melihat Kyungsoo sibuk dengan cucian piring yang menumpuk.
“Aniyo. Gwenchana. Sedikit lagi. Eomma
tidurlah, kau pasti sangat lelah,” balas Kyungsoo yang masih sibuk dengan
piring-piring di hadapannya. Mendengar itu ibunya pun hanya mengikuti dan berniat
untuk pergi menuju kamarnya.
Sepeninggal
ibunya, Kyungsoo menghela napas berat dan berhenti sejenak dari aktivitasnya.
Banyak hal yang mengganggu pikirannya. Kenyataan yang begitu sulit untuk ia
terima. Memikirkan semua itu membuatnya ingin gila. Ia pun tersenyum miris
sebelum akhirnya melanjutkan kesibukannya.
“Ah—eomma hampir lupa. Tadi Lee samonim bilang, makanannya sangat enak.
Kukira bakat memasakku telah menurun padamu, Kyungsoo-ya,” ujar ibunya lagi
yang muncul secara tiba-tiba dan membuat Kyungsoo cukup terkejut. Mendengar
penuturan itu, Kyungsoo pun hanya bisa tersenyum.
Setelah
selesai, Kyungsoo masuk ke dalam kamar sempitnya dengan hati-hati agar jangan
sampai membangunkan ibunya. Melihat pemandangan itu membuat hatinya kian
teriris. Apa yang bisa ia lakukan untuk membuat hidup ibunya lebih baik? Apakah
ibunya harus menjadi pelayan di rumah itu selamanya? Hal itu membawa ingatannya
kembali pada perbincangannya dengan ibunya beberapa waktu yang lalu...
FLASHBACK
Saat itu Kyungsoo
sempat menolak untuk pergi berkuliah karena lebih memilih untuk pergi bekerja
dan mencari uang, agar ia dan ibunya bisa menemukan tempat lain yang layak
untuk tinggal selain di kediaman keluarga Lee. Namun ibunya tidak setuju, dan
memaksa Kyungsoo untuk mencoba ujian masuk di sebuah universitas elit dan
ternama, yang juga merupakan universitas Kai –putra tunggal keluarga Lee, majikannya.
Di luar dugaan bahwa Kyungsoo akhirnya lolos dan mendapatkan hak beasiswa di
tempat itu.
Tak menyerah,
Kyungsoo berusaha membujuk ibunya lagi agar ia bisa pergi bekerja dan mereka
bisa pindah ke tempat lain. Namun ibunya justru marah dan tanpa sengaja
mengatakan sesuatu yang begitu mengejutkan bagi Kyungsoo. Pernyataan bahwa Kai,
putra tunggal keluarga Lee, sebenarnya adalah adik kandungnya.
19 years ago...
Saat itu, Kyungsoo
yang masih berusia 3 tahun harus terus menyaksikan ayah dan ibunya yang
bertengkar hampir setiap hari. Ayahnya, tuan Do, adalah seorang yang kasar dan
pemabuk. Ia hanya bisa menghabiskan uangnya untuk berjudi. Tidak peduli jika
saat itu ibunya tengah mengandung janin adiknya, ayahnya akan tetap
membentaknya dan tak segan-segan untuk memukul.
Hingga suatu hari,
ibunya tidak tahan lagi dan membawanya pergi dari rumah tanpa sepengetahuan
tuan Do. Kyungsoo dan ibunya harus ‘mengungsi’ di rumah salah satu teman ibunya
selama beberapa hari, sampai ibunya harus di bawa ke rumah sakit karena akan
segera melahirkan. Semua biaya persalinan itu ditanggung dengan baik hati oleh
teman ibunya.
Kyungsoo dan ibunya
harus menjalani hidup yang begitu sulit. Tidak ada cukup biaya untuk memenuhi
kebutuhan mereka berdua, apalagi jika ditambah dengan adanya adik Kyungsoo saat
itu. Hingga pada suatu kesempatan, nyonya Do dipertemukan dengan sepasang suami
istri yang tidak mempunyai anak—tuan dan nyonya Lee—. Tanpa pikir panjang,
nyonya Do pun memutuskan untuk menyerahkan anak bungsunya pada keluarga Lee,
meski itu adalah keputusan yang sangat berat.
“Kumohon—bawa dan
rawatlah anakku,” pinta nyonya Do yang terdengar begitu putus asa.
“Apa kau yakin?
Tapi dia anakmu. Bagaimana jika nanti dia menyadarinya?” tanya nyonya Lee.
“Aku tidak apa-apa.
Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri. Kumohon—agar tuan dan nyonya berkenan
untuk merawatnya. Berikan padanya kehidupan yang layak,” pinta nyonya Do lagi.
“Baiklah, kalau itu
mau-mu. Lalu bagaimana dengan pemberian namanya?”
“Kai. Hanya panggil
dia Kai—tanpa marga apapun. Kumohon,”
Keluarga Lee sempat
terkejut dan bingung, namun akhirnya mereka menerimanya dengan senang hati dan
berjanji akan merawat anak itu dengan baik. Saat itu jugalah, nyonya Do
akhirnya menawarkan dirinya untuk bekerja di kediaman keluarga Lee sebagai
seorang pelayan. Dengan alasan, agar ia sendiri bisa ikut mengamati
perkembangan anak bungsunya.
@@@@@@
Keesokan
harinya, Sunmi harus terlambat bangun karena semalam ia lembur bekerja paruh
waktu di sebuah kafe. Hal itu juga membuatnya harus tertinggal bus dan berlari
ke halte berikutnya dengan jarak yang cukup jauh dari rumahnya.
Begitu
bus yang ditunggu tiba, Sunmi segera masuk ke dalam bus dan berniat menempati
bangku pojok belakang yang memang menjadi tempat favoritnya. Namun ia
mengurungkan niat itu saat seorang pria berwajah dingin sudah lebih dulu
menempatinya. Ia pun memilih untuk duduk di bangku lainnya yang kosong.
Sesekali Sunmi menoleh untuk memperhatikan pria itu. Entah mengapa, Sunmi
merasa tertarik tanpa alasan yang jelas pada pria itu dan ia akan memalingkan
wajahnya cepat begitu tatapannya dengan pria itu beradu.
Beberapa
menit berlalu dan bus itu sampai di sebuah universitas. Sunmi bangkit dari
duduknya dan berniat segera turun. Namun belum selangkah ia meninggalkan
bangkunya, seseorang menabraknya dan membuat ponselnya terjatuh.
“Jwoseonghamnida,” ujar seorang pria
dengan suara beratnya. Sunmi menatap ponselnya yang jatuh dan pria itu secara
bergantian.
“Jwoseonghamnida. Ini—kuharap ponselmu
baik-baik saja,” ujar pria itu lagi seraya menyerahkan ponsel itu pada Sunmi.
Tanpa berkata apapun, dengan cepat Sunmi mengambil ponsel itu dan berlalu
begitu saja tanpa memedulikan pria itu yang masih memandangi kepergiannya.
@@@@@@
Sunmi
duduk di bangku kelasnya sambil terus memandangi ponselnya dengan raut sedih.
“Sunmi-ah,
annyeong!” sapa Yoojin namun tak di
respon oleh Sunmi.
“Aigu! Sunmi-ah, ponselmu! Wae irae?” lanjutnya panik begitu
dilihatnya layar ponsel Sunmi yang lecet dan redup.
Sunmi
masih terdiam dengan raut sedih. Sekilas Yoojin bisa melihat wallpaper dari ponsel itu, yang
menampilkan foto Sunmi bersama seorang pria. Siapa lagi kalau bukan Jongin?
Jung Yoojin, sahabatnya semenjak berkuliah, sudah mengetahui semuanya. Termasuk
cerita masa lalu Sunmi dan cinta pertamanya, Kim Jongin.
“Sunmi-ah,
gwenchana?” tanya Yoojin seakan
mengerti apa yang tengah Sunmi rasakan.
Sunmi
menghela napas pelan sebelum akhirnya menatap Yoojin dan menjawab, “Gwenchana,”
Sampai
kelas mereka berakhir, Yoojin terus berusaha menghibur Sunmi. Ia pun mengajak
Sunmi untuk membeli beberapa makanan di kafe kampus untuk memperbaiki suasana
hatinya.
“Yak,
Yoojin-ah!” panggil seseorang dari balik punggung mereka yang membuat langkah
mereka terhenti.
“Eoh?
Junmyeon oppa!” Yoojin berbalik dan
menghampiri kekasihnya itu dengan sumringah.
Sunmi
yang masih berdiri di tempatnya hanya bisa melihat pemandangan itu dalam diam.
Ia kemudian tertegun karena harus bertemu pandang dengan seseorang yang telah
membuat moodnya begitu buruk hari itu. Seseorang yang ia temui di dalam bus,
sekaligus seseorang yang membuat ponsel penuh kenangan miliknya menjadi rusak.
“Kyungsoo-ya,
kenalkan. Ini Jung Yoojin, pacarku,” ujar Junmyeon pada pria itu. Mendengar itu
Sunmi hanya terdiam dan berusaha untuk tidak peduli. Sedangkan tatapan
Kyungsoo, masih lurus padanya seolah mengintimidasi.
“Sunmi-ah,
kemarilah!” panggil Junmyeon yang membuatnya terhenyak dan mau-tidak-mau harus
ikut mendekat.
“Sunmi-ah,
dia teman sekelasku. Namanya Kyungsoo. Do Kyungsoo,” jelas Junmyeon
memperkenalkan. Kyungsoo masih menatap Sunmi intens, tanpa kata, tanpa senyum.
Ia kemudian mengulurkan tangannya, mengajak Sunmi untuk menjabatnya.
“Kukira
aku meninggalkan buku catatanku di dalam kelas,” sela Sunmi tanpa menghiraukan
uluran tangan Kyungsoo dan langsung berlalu begitu saja.
“Yak,
Sunmi-ah, jamkanma-yo! Biar kutemani,
eoh?” seru Yoojin yang berusaha menyamai langkahnya dengan Sunmi.
“Aniyo, aku sendiri saja. Kau temani
Junmyeon oppa saja,” balas Sunmi
terburu-buru. Yoojin pun menghentikan langkahnya dan menatap kepergian Sunmi
dengan penuh rasa penasaran.
Kyungsoo
cukup memaklumi reaksi Sunmi terhadapnya. Ia rasa Sunmi masih marah padanya
karena menabraknya sewaktu di bus dan menjatuhkan ponselnya.
“Sudahlah,
tidak perlu dipikirkan. Sunmi memang seperti itu. Kata Yoojin—ia mempunyai
kenangan yang menyakitkan bersama mantan pacarnya,” sahut Junmyeon sambil
menepuk pelan pundak Kyungsoo. Kyungsoo hanya diam dan kembali menatap punggung
Sunmi yang semakin menjauh.
@@@@@@
Sunmi
berjalan gontai menuju halte bus. Ia masih sedih memikirkan ponselnya. Bukan
karena ponselnya yang rusak, tapi lebih karena hal itu membuatnya teringat
kembali akan kenangan masa lalunya, ketika Jongin masih hidup (baca Day By Day).
Sunmi
menunggu bus sambil tertunduk. Mengingat kenangan itu benar-benar membuatnya
ingin menangis. Tak lama terdengar suara guntur, pertanda hujan akan segera
turun. Sunmi masih tak bergeming ketika rintik gerimis mulai menghujam dirinya.
Hingga sesuatu menaungi kepalanya dan melindunginya dari rintik hujan yang
semakin deras.
“Kau
kira itu menyenangkan? Kau bisa saja sakit,” ucap seseorang yang sudah berdiri
di sampingnya dan memayunginya. Sunmi tertegun.
“Mianhae,” ucap Kyungsoo. Sunmi
mengalihkan pandangannya dan tidak menghiraukan ucapan Kyungsoo. “Mianhaegu,” lanjut Kyungsoo lagi.
“Gwenchana,” balas Sunmi pada akhirnya.
Namun tak lama setelah itu Sunmi berjalan menjauhi Kyungsoo, tak peduli jika ia
harus basah karena kehujanan. Ia hanya tidak ingin berhadapan dengan Kyungsoo
saat itu. Lagi, Kyungsoo hanya bisa memandangi punggung Sunmi yang berjalan
menjauh darinya dalam keadaan yang sudah basah kuyup. Dalam hati, Kyungsoo
ingin mencegahnya. Namun ia mengurungkan niat itu saat melihat Sunmi yang tampak
begitu tertekan.
“Kata Yoojin—ia
mempunyai kenangan yang menyakitkan bersama mantan pacarnya—“
Ucapan
Junmyeon kembali terngiang di benaknya.
“Gadis
itu—membuatku begitu penasaran,” ucap Kyungsoo lirih pada dirinya sendiri.
“Hyung!” seru seseorang yang mengalihkan
perhatian Kyungsoo. Tidak jauh dari tempatnya, ia bisa melihat Kai yang berdiri
dengan payung yang dibawanya, dan tersenyum cerah ke arahnya sambil melambaikan
tangannya.
@@@@@
Sunmi
telah sampai di rumahnya dengan keadaan yang begitu basah kuyup dan itu tentu
membuat ibunya —nyonya Yeo— begitu terkejut.
“Sunmi-ah,
kenapa kau hujan-hujanan seperti ini? Bagaimana kalau kau sakit?” ujar ibunya
khawatir.
Masa
terapi nyonya Yeo telah berakhir, dan nyonya Yeo telah dinyatakan sembuh dari
trauma-nya. Kini nyonya Yeo sudah bisa beraktivitas dengan normal dan bisa
menerima kenyataan tentang suaminya —tuan Yeo— yang sudah meninggal.
Sunmi
tidak menanggapi pertanyaan ibunya dan justru berlalu begitu saja menuju
kamarnya. Sunmi merasa benar-benar kosong. Hampa. Setiap harinya terasa
melelahkan jika ia harus terus mengingat kenangan itu. Setelah mengganti
pakaiannya, ia terduduk di meja belajarnya dan kembali memandangi ponselnya
yang rusak.
“Jongin-ah,
mianhae. Aku tidak bisa menjaga
ponsel pemberianmu dengan baik,” ucap Sunmi lirih sambil memandangi wallpaper ponselnya, yaitu fotonya
bersama Jongin di kesempatan terakhirnya.
Matanya
kemudian beralih menatap beberapa lembar foto yang sudah tertempel rapi di
dinding di hadapannya. Sunmi pun tak kuasa membendung airmatanya. Bulir-bulir
itu jatuh perlahan menyusuri lekuk pipinya.
“Jongin-ah—bogoshipeo,”
@@@@@
The day after, at
noon...
Sunmi
sedang melakukan kerja paruh waktunya di daerah distrik perbelanjaan di
MyeongDong, ketika matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar baginya memasuki
kafe tempatnya bekerja. Dengan sigap, Sunmi membungkuk sebagai bentuk sopan
santunnya di hadapan sosok itu.
“Sudah
cukup lama,” ucap pria paruh baya yang duduk di hadapannya, ketika mereka
berdua telah berada di dalam kafe itu.
“Ne,” balas Sunmi sopan.
“Bagaimana
kabarmu?”
“Ah—ne, ahjussi. Aku baik-baik saja,”
“Kau
bekerja di sini?” tanya pria itu.
Sunmi
menatap pria itu sejenak sebelum berujar dengan sungkan, “Ne,”
“Kau
tidak pergi kuliah?”
“Tentu
saja aku pergi. Hanya saja—aku ingin bisa mandiri,” jawab Sunmi menjelaskan.
Pria
itu tampak mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
“Tak
terasa sudah 2 tahun sejak kepergian Jongin. Besok adalah hari peringatan
kematiannya,” mendengar itu jantung Sunmi seakan mencelos.
“Ne,” balasnya tertunduk.
“Bagaimana
jika besok kita datang ke pemakamannya bersama?” ajak pria itu yang adalah tuan
Kim—ayah Jongin—.
@@@@@@
Kyungsoo
berjalan pelan dengan nampan berisi segelas minuman di tangannya. Atas
permintaan tuan Lee, ia berniat mengantarkan minuman itu ke ruangannya. Baru
saja ia hendak mengetuk pintu, namun sebuah perbincangan dari dalam menarik
perhatiannya.
“Kai-ah,
sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan putra Do ahjumma,” ujar nyonya Lee.
“Mwo? Geundae wae? Aku suka padanya, dia
anak yang baik. Selama ini aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri—“
“Geumanhae,” sela nyonya Lee cepat,
membuat Kai bungkam seketika. “Meskipun kalian tinggal dan pergi kuliah
bersama, kuharap kau bisa lebih memahami status sosial keluarga kita.
Bertemanlah dengan orang-orang yang sama sepertimu. Bukan anak pelayan
sepertinya. Arasseo?” lanjutnya.
Tak
lama setelah itu nyonya Lee membuka pintu untuk keluar dan ia tertegun sejenak
saat melihat Kyungsoo yang sudah berdiri tak jauh di depan pintu. Kyungsoo
membungkuk hormat dalam diam, sebelum akhirnya nyonya Lee benar-benar beranjak
dari hadapannya.
Dari
depan ruangan itu, Kyungsoo bisa melihat Kai yang masih berdiri di tempatnya
dan juga memandangnya dalam diam. Tak lama hingga akhirnya Kai menundukkan
wajahnya dan berlalu dari hadapan Kyungsoo. Perkataan nyonya Lee tentu
membuatnya terkejut. Bagaimana mungkin seorang nyonya Lee dengan tega berusaha
menusuknya dan ibunya dari belakang seperti itu.
Sesampainya
di meja ruangan kerja tuan Lee, Kyungsoo meletakkan minuman itu dengan
hati-hati.
“Ah, ye, letakkan saja di sana. Gomawo, Kyungsoo-ya,” ucap tuan Lee
dari balik layar laptopnya.
“Kenapa
kau masih berdiri di sana?” tanya tuan Lee, melihat Kyungsoo yang belum juga
beranjak dari ruang kerjanya.
Kyungsoo
menelan ludahnya gugup sebelum akhirnya bersuara. “Lee sonsaengnim (tuan)—aku—“ Kyungsoo menggantungkan kalimatnya sejenak
karena bingung.
“Aku
rasa akan lebih baik jika aku dan ibuku tinggal di tempat lain saja,” lanjut
Kyungsoo lancar pada akhirnya.
“Wae? Apa ada sesuatu di rumah ini yang
membuatmu tidak nyaman?” tanya tuan Lee.
“A-Animnida. Geunyang—aku merasa tinggal di sini hanya akan menjadi beban saja.
Atau setidaknya—biar ibuku saja yang tinggal di sini,”
Tuan
Lee menghentikan aktivitasnya dan beralih memandang Kyungsoo yang tertunduk.
Melihat itu entah mengapa tuan Lee menjadi iba.
“Kyungsoo-ya,”
ucap tuan Lee. “Apa sesuatu terjadi? Apa—kau bertengkar dengan adikmu?”
pertanyaan itu membuat Kyungsoo tertegun dan mendongakkan wajahnya. Mendengar
kata ‘adik’, membuatnya ingin marah, entah mengapa.
“Aku
sudah menganggapmu seperti anakku sendiri, sama halnya dengan Kai, adikmu. Kau
tumbuh menjadi pria yang cerdas dan pekerja keras. Aku tahu pasti sangat sulit
berada di posisimu saat ini. Kalau memang itu yang terbaik menurutmu, aku tak
berhak untuk melarangnya. Tapi—kuharap kau tetap meneruskan kuliahmu dan
menjaga adikmu meski kalian tidak lagi tinggal bersama,”
@@@@@@
Sejak
saat itu Kyungsoo semakin menjaga jarak dengan Kai, dan mulai berkemas setelah
ia menemukan tempat tinggal baru yang tidak jauh dari universitasnya. Ia
berniat mencari pekerjaan paruh waktu untuk bisa membantu memenuhi biaya
hidupnya, meskipun tuan Lee mengatakan akan tetap memberikannya uang. Kyungsoo
hanya tidak ingin menjadi beban orang lain. Ibunya sempat terkejut dan menolak
keputusan Kyungsoo, namun Kyungsoo tetap bersikeras mempertahankan niatnya itu.
Ia berjanji akan belajar dengan baik dan menjadi anak yang mandiri.
Hari
itu, Kyungsoo akan segera pindah. Selesai mengemasi segala barangnya, ia
berniat untuk berpamitan pada tuan dan nyonya Lee, setelah sebelumnya
berpamitan pada ibunya. Namun langkah Kyungsoo terhenti tepat di depan kamar
Kai. Untuk beberapa saat ia memandangi kamar yang tertutup rapat itu dengan
tatapan yang sulit diartikan, hingga akhirnya melanjutkan langkahnya untuk
meninggalkan rumah itu.
Di
sisi lain, Kai yang baru mengetahui kabar kepindahan Kyungsoo segera bergegas
menuju kamar Kyungsoo. Ia sangat kecewa setelah menemukan kamar Kyungsoo yang
sudah setengah kosong, tanpa barang-barang milik Kyungsoo. Ia terlambat. Entah
mengapa hatinya merasa begitu kehilangan. Ia merasa begitu kesepian tanpa
kehadiran Kyungsoo di rumahnya, sekaligus merasa bersalah.
Saat
di kampus, Kai berusaha untuk mencari Kyungsoo. Namun ia cukup kesulitan
lantaran tidak mengetahui dengan baik siapa teman terdekat Kyungsoo yang bisa
ia tanyai.
@@@@@@
Hari
itu Junmyeon mengajak Kyungsoo untuk menemaninya mampir ke kelas Yoojin.
Junmyeon berniat mengajak Yoojin dan Sunmi makan bersama di kafe kampus sore
itu.
“Yoojin-ah,
Sunmi-ah!” sapa Junmyeon begitu melihat Yoojin dan Sunmi yang tengah
membereskan buku-bukunya.
“Oh,
oppa! Jamkanman-yo!” seru Yoojin,
kemudian mengalihkan pandangannya pada Sunmi. “Yak, Sunmi-ah. Sepertinya
Kyungsoo oppa akan ikut makan bersama kita kali ini. Menurutku ia sangat
tampan. Bagaimana menurutmu?” bisik Yoojin sambil menyenggol pelan lengan
Sunmi, yang diikuti kekehan kecil.
Sunmi
berdecak tak habis pikir akan kelakuan sahabatnya satu itu. “Yak, geumanhae. Kau ‘kan sudah punya Junmyeon
oppa, kenapa masih memikirkan yang
lain, ck,”
“Kau
ini,” balas Yoojin tak terima. “Apa kau tidak tertarik padanya? Sampai kapan
kau mau menutup hatimu seperti itu? Kupikir Kyungsoo pria yang baik,” lanjut
Yoojin yang membuat Sunmi tertegun sejenak.
Kini
mereka berempat telah duduk 1 meja di kafe kampus. Junmyeon dan Yoojin terlihat
asik dalam perbincangan mereka, sedangkan Sunmi dan Kyungsoo hanya saling diam.
Kyungsoo menatap Sunmi penuh rasa ingin tahu. Sunmi terus saja menundukkan
wajahnya.
“Yak,
yak, wae? Kenapa kalian hanya diam
saja seperti itu?” tanya Junmyeon mulai mencairkan suasana.
“Apa
kalian begitu gugup untuk berhadapan satu sama lain?” ledek Yoojin dengan
seringai usilnya.
“Aniyo!” seru Sunmi dan Kyungsoo
bersamaan, yang membuat keduanya semakin salah tingkah.
“Ehm—aku—sebaiknya
aku segera kembali. Sebentar lagi giliranku untuk bertugas,” lanjut Sunmi
sedikit terbata.
“Ah,
geuraeyo? Kau masih bekerja di kafe
itu?” tanya Junmyeon yang tanpa mereka sadari membuat Kyungsoo tertegun.
“Ne,” jawab Sunmi singkat.
“Biar
kuantar,” balas Junmyeon lagi.
“Aniyo, gwenchana. Aku bisa pergi sendiri,” timpal Sunmi sambil tersenyum.
Ia kemudian bangkit dari duduknya dan beranjak dari sana. Pandangan Kyungsoo
tak lepas dari Sunmi. Karena rasa keingintahuan yang besar, Kyungsoo pun
memutuskan untuk mengikuti gadis itu.
“Ah—aku
baru ingat, ada sesuatu yang harus kulakukan. Mian, aku harus pergi,” ujarnya tiba-tiba yang membuat Junmyeon dan
Yoojin saling pandang dengan raut tak mengerti. Kyungsoo berlalu begitu saja
sebelum mereka sempat menjawab.
“Yah,
setidaknya berdua lebih baik ‘kan?” ujar Junmyeon pada Yoojin, yang hanya
dibalas kekehan oleh keduanya.
@@@@@@
“Kau—pergi
bekerja?” tanya Kyungsoo yang sudah berjalan di belakang Sunmi. Sunmi
menghentikan langkahnya dan menoleh untuk memastikan.
“Kenapa
kau mengikutiku?” balas Sunmi balik bertanya.
Kyungsoo
menyejajarkan posisinya dengan Sunmi. “Apa aku terlihat sengaja mengikutimu
ketika hanya ada 1 jalan keluar di sini?” jawabnya.
Sunmi
mengalihkan pandangannya, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan
Kyungsoo. Kyungsoo masih terdiam di tempatnya. Tanpa sepengetahuan Sunmi,
Kyungsoo benar-benar mengikutinya secara diam-diam. Berperan bak seorang
detektif, ‘pengintaian’ itu membawa Kyungsoo sampai di sebuah kafe di kawasan
MyeongDong.
Sunmi
telah siap dengan seragam kerjanya ketika Kyungsoo memutuskan untuk masuk ke
dalam kafe itu sebagai seorang pengunjung.
“Selamat
da—“ ucapan Sunmi terhenti begitu dilihatnya sosok Kyungsoo di hadapannya.
“Kau—“ lanjutnya terbelalak.
“Kenapa
kau terus mengikutiku? Apa mau-mu?” tanya Sunmi.
“Dan
kenapa kau harus menghindariku?” balas Kyungsoo tak mau kalah. Tak lama setelah
itu ia menunjuk ke belakang, ke arah pintu masuk, dimana di sana terpajang
selembar iklan lowongan pekerjaan. “Aku datang karena aku membutuhkan
pekerjaan,” lanjutnya tenang.
@@@@@@
Dalam
masa trainingnya, Kyungsoo
mendapatkan kesempatan untuk memiliki jadwal yang sama dengan Sunmi. Hal itu
membuatnya semakin tertarik untuk mencari tahu segala hal tentang Sunmi.
“Kenapa
kau bekerja paruh waktu?” tanya Kyungsoo di sela waktu bekerja mereka.
Sunmi
yang tengah sibuk menghias kopi tidak begitu menghiraukan pertanyaan Kyungsoo.
“Ini bukan saatnya untuk menanyakan hal seperti itu. Aku sedang sibuk,”
balasnya cepat.
Kyungsoo
meraih pergelangan tangan Sunmi ketika gadis itu baru saja hendak beranjak.
Sunmi yang terkejut hanya bisa menatap Kyungsoo heran.
“Aku
tidak suka—jika ada masalah yang tidak terselesaikan,” ucapnya dingin tanpa
ekspresi, kemudian berlalu lebih dulu meninggalkan Sunmi yang masih terpaku.
Waktu
terus berjalan dan hari semakin gelap. Tiba saatnya bagi Sunmi dan Kyungsoo
untuk pulang. Hanya ada 1 halte di kawasan itu hingga membuat mereka
mau-tidak-mau harus menumpang di bus yang sama.
Setelah
bus itu datang, Sunmi duduk di bangku pojok belakang, sedangkan Kyungsoo di
bangku agak depan. Sesekali Kyungsoo akan menoleh ke belakang untuk memastikan
apa yang Sunmi lakukan di bangkunya. Ia bisa melihat Sunmi yang memandang
keluar jendela dengan headset yang
terpasang di kedua telinganya. Kyungsoo sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya
ia rasakan saat itu. Ia hanya merasa perlu untuk mencaritahu segala hal tentang
gadis itu. Entah mengapa, gadis itu begitu menarik perhatian Kyungsoo sejak
pertemuan pertama mereka.
Perjalanan
mereka memakan waktu yang cukup lama, karena jarak kafe dengan rumah sewa Kyungsoo
cukup jauh. Kyungsoo terus memperhatikan Sunmi yang telah jatuh tertidur,
hingga beberapa penumpang telah turun dan menyisakan mereka berdua di dalam
bus. Kyungsoo bangkit dari duduknya dan mendekati Sunmi. Ia pun duduk tepat di
sebelah gadis itu. Terdapat sebuah buku notes
bersampul hello kitty di pangkuan
Sunmi. Karena penasaran, Kyungsoo meraihnya hingga tanpa sengaja sebuah foto
terjatuh dari dalamnya dengan posisi terbalik. Dari balik foto itu tertulis Cheongshim godeunghaggyo-2010. Kyungsoo
segera memungutnya dan ia begitu terkejut saat dilihatnya foto seorang pelajar
dengan wajah yang sangat dikenalnya.
“Kai—?
Bagaimana mungkin—?“ ucapnya susah
payah sambil memandangi foto itu dan Sunmi secara bergantian.
@@@@@@
Sunmi
tengah membawa beberapa buku modul dari perpustakaan ketika Kyungsoo dan
dirinya tanpa sengaja berpapasan di koridor kampus. Mereka saling menatap,
hingga seorang lain muncul dan berseru ke arah mereka.
“Hyung!” seru seseorang dari balik
punggung Sunmi. Kyungsoo terbelalak melihat Kai yang sudah berdiri di sana
sambil melambaikan tangannya.
“Hyung, apa alasanmu pergi dari rumah?
Kenapa kau tak mengatakannya padaku? Dimana kau tinggal sekarang, hyung?” cecar Kai dengan pertanyaannya
setelah ia berada lebih dekat di hadapan Kyungsoo.
Sunmi
yang melihat itu tanpa sadar menjatuhkan semua buku bawaannya. Seketika,
tangannya bergetar dan lidahnya terasa kelu. Jantungnya berdegup tak normal
seakan baru saja melihat sesosok hantu. Bagaimana tidak ketika sosok serupa
cinta pertamanya yang telah tiada tiba-tiba muncul di hadapannya? Dengan
tangannya yang masih bergetar hebat ia berusaha memungut buku-bukunya. Kyungsoo
terus mengamatinya dalam diam hingga gadis itu pergi menghilang di balik
dinding koridor.
Kyungsoo
mengalihkan tatapannya pada Kai sebelum berujar, “Aku bukan hyungmu, dan tidak akan pernah mau
menjadi hyungmu,” selesai
mengatakannya Kyungsoo berlalu begitu saja meninggalkan Kai dengan raut penuh
rasa kecewa.
“Aku
susah payah mencarimu, hyung!” seru
Kai lagi yang membuat Kyungsoo terhenyak, namun tidak menghentikan langkahnya.
Ada sedikit penyesalan dalam benak Kyungsoo ketika mengatakan hal sekasar itu
dan meninggalkan Kai begitu saja. Mungkin ia sempat merasa iri pada adiknya
yang mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik darinya, namun bagaimanapun
juga Kyungsoo tidak ingin Kai tahu bahwa mereka adalah saudara kandung. Ia
tidak ingin Kai kehilangan kehidupannya yang layak itu dan menjadi susah
sepertinya dan juga ibunya. Sebagai kakak yang baik, Kyungsoo tentu inginkan
yang terbaik untuk adiknya.
@@@@@@
Sunmi
berlari secepat yang ia bisa menuju toilet terdekat. Ia mengatur deru napasnya
yang tidak teratur dan juga degup jantungnya yang begitu tak stabil. Keringat
dingin mulai membasahi tubuhnya. Ia benar-benar tak bisa berpikir dengan
jernih. Ia memperhatikan pantulan dirinya di cermin dan membasuh wajahnya
berulangkali seraya meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat itu salah.
“Tidak—itu
tidak mungkin. Ini sama sekali tak masuk akal. Jongin—Jongin sudah mati. Ada
apa denganku?” gumam Sunmi pada dirinya sendiri, kemudian menghela napas berat.
Setelah
kuliah hari itu selesai, Sunmi terkejut saat tahu Kyungsoo sudah menatapnya
lurus sambil menyandarkan punggungnya di dinding gerbang universitas. Sunmi
melanjutkan langkahnya berniat melewati pria itu, namun ucapan dari pria itu
membuatnya terhenti.
“Kau
mengenalnya?” tanya Kyungsoo.
“Apa
maksudmu?” balas Sunmi tak mengerti.
“Kai.
Kau mengenalnya?” Sunmi semakin mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ah—lupakan
saja. Kajja, bukankah kita harus
bekerja?” lanjut Kyungsoo mengalihkan pembicaraan dan mengajak Sunmi untuk
pergi bersamanya. Namun Sunmi justru terdiam di tempat sambil menatap Kyungsoo.
“Wae? Kau tidak pergi ke kafe hari ini?”
“A-Ani. Kajja,” balas Sunmi sedikit salah
tingkah.
Tidak
jauh dari tempat mereka, Yoojin dan Junmyeon sedang memperhatikan mereka.
“Oppa, lihat itu! Ah, gwiyomnae. Bukankah mereka cocok?” ujar
Yoojin sumringah, menyalahpahami kedekatan Kyungsoo dan Sunmi.
“Jinjjayo? Wah, tak kusangka Kyungsoo
berhasil mendekatinya secepat ini. Ia bahkan lebih cepat dariku,” balas
Junmyeon yang mendapat balasan death
glare dari Yoojin.
“Yak,
mwoya?! Musuniriya?! Kau berniat
mendekati Sunmi, eoh?!”
“A-A-Ani, anigoteun!” Junmyeon meralat ucapannya
dan segera berlalu untuk menghindari amukan Yoojin.
@@@@@@
Menghabiskan
cukup banyak waktu bersama, membuat hubungan mereka kian dekat seiring
berjalannya waktu. Segala pemikiran Sunmi sebelumnya mengenai Kyungsoo pun
berubah setelah ia semakin mengenal pria itu. Kyungsoo tidak seburuk itu,
begitulah pikir Sunmi. Ia pun berusaha untuk lebih membuka diri dan tidak lagi
menghindari Kyungsoo.
Setelah
pesanan semua pelanggan di kafe itu terselesaikan, Kyungsoo menyodorkan segelas
coklat panas yang ia buat sendiri pada Sunmi, ketika mereka berdua telah berada
di ruang staff untuk beristirahat.
“Gomawo,” ucap Sunmi sembari menerima
gelas itu. Kyungsoo duduk di sebelah Sunmi.
“Waktu
itu—kenapa kau selalu menghindar dariku? Jika itu karena kecelakaan kecil kita
di bus, kukira aku sudah meminta maaf padamu,” tanya Kyungsoo, membuat Sunmi
tertegun.
Sunmi
menghela napas pelan sebelum menjawab. “Itu—sebenarnya—bukan karena itu aku
menghindarimu,”
Kyungsoo
menatap Sunmi lebih dekat, menuntut penjelasan lebih. Hal itu membuat Sunmi
semakin salah tingkah, entah mengapa. “Itu—karena—“ Sunmi kelabakan mencari
kata-kata yang tepat.
“Ah—tidakkah
kita terlalu lama berada di sini? Sebaiknya kita kembali ke depan,” lanjut
Sunmi pada akhirnya yang mengalihkan topik saat itu. Membuat Kyungsoo semakin
penasaran. Sepeninggal Sunmi dari ruangan itu, Kyungsoo hanya bisa mendengus
dengan seringai samar.
“Yeo
Sunmi.. Benar-benar gadis yang menarik,”
Beberapa
jam menjelang tutupnya kafe, seseorang yang tak diduga tiba-tiba datang dan
mengejutkan Sunmi. Nampan berisi beberapa gelas minuman itupun harus terjatuh
hingga meriuhkan seluruh penjuru kafe. Sunmi tak percaya pada apa yang
dilihatnya saat itu. Hal itu terjadi lagi. Tangannya bergetar seiring gemuruh
hebat di dalam dadanya. Matanya memanas dan semakin berair. Lidahnya kelu. Ia
membeku di tempat seperti orang linglung.
“Sunmi-ah,
gwenchana?” tanya Kyungsoo yang
segera menghampirinya dan membantu membereskan puing-puing gelas yang
berserakan di lantai. Sunmi masih tak bergeming di tempatnya. Matanya
terbelalak, menatap lurus sosok di depan pintu. Itu sosok cinta pertamanya, Kim
Jongin. Kali ini Sunmi tidak salah lihat. Sosok itu benar-benar datang.
“Hyung,” seru pria itu yang membuat
Kyungsoo terhenyak.
Kyungsoo
dan Kai kini berada cukup jauh di luar kafe. Sedangkan Sunmi, dengan tangannya
yang terus bergetar karena tak percaya, hanya bisa menunggu Kyungsoo kembali
dengan gelisah di dalam kafe.
“Neo—ottohke ara (bagaimana kau tahu)?” tanya
Kyungsoo dingin.
“Itu
bukan hal yang penting. Hyung,
sebaiknya kau kembali ke rumah. Do ahjumma—“
Plak!
Mendengar
Kai menyebut nama ibunya, Kyungsoo tak kuasa mengendalikan emosinya.
“Berhenti
bersikap seolah aku adalah hyungmu! Bukankah samonim sudah memperingatimu untuk menjauhiku? Aku tidak punya
banyak waktu untuk menanggapi omong kosongmu,” balas Kyungsoo dengan tangan
yang bergetar setelah menampar adik kandungnya sendiri.
Kai
terdiam sambil memegangi pipinya. Tampak ujung bibirnya sedikit terluka.
Kyungsoo baru saja hendak berbalik ketika Kai melanjutkan ucapannya.
“Do
ahjumma sakit. Ia membutuhkanmu,”
selesai dengan itu, Kai berlalu kembali menuju mobilnya.
Dari
dalam kafe, Sunmi memperhatikan semuanya. Entah mengapa hatinya ikut merasakan
sakit ketika Kyungsoo dengan tega memukulnya, meskipun ia tidak mengerti apa
yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Kyungsoo mematung di tempatnya dengan
penuh penyesalan dalam benaknya. Sunmi masih terus bertanya-tanya di dalam
hatinya, siapa sosok pria yang ditemui Kyungsoo sebenarnya? Bagaimana mungkin
pria itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan cinta pertamanya, Kim Jongin?
Dan kenapa Kyungsoo tampak begitu membencinya?
***[TO BE
CONTINUED]***
Preview Part 2..
“Sunmi-ah—gwenchana?”
“Kyungsoo tidak
masuk hari ini—“
“Apa benar aku anak
kandung Do ahjumma? Aku saudara kandung Kyungsoo hyung?”
“—Ibuku sedang sakit,”
“Sunmi-ah,”
“Apa Kyungsoo hyung
tak pernah ceritakan apapun tentangku padamu?”
“Kau mengenal Kai?”
“Aku bukan Jongin
atau siapapun itu—“
“Kim—Jong—In,”
“Sunmi-ah—gadis itu
adalah gadis paling tegar yang pernah kutemui—“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar